Untuk Temanku di Surga..

pic source

“Hey, ayo semangat dong, gis!” 

Aku ingat dan hapal betul bagaimana ekspresi serta suara saat ia mengatakan hal itu. Berulang-ulang kali, entah dihadapanku ataupun dibalik sambungan telpon. Gadis yang selalu ceria bagaimana pun keadaannya. 

“Besok lusa aku nggak jadi main ke rumahmu ya, dokter bilang harus cuci darah lagi,” katanya sambil cengengesan. Disaat menceritakan hal yang sebenarnya memilukan bagi sebagian orang, ia selalu tersenyum seolah dia anak yang paling bahagia. Giginya yang putih selalu tersungging diantara kulit sawo matangnya. Bobot tubuhnya tidak seperti anak seusia kami pada umumnya. Mata bulatnya selalu tampak berbinar saat bercerita seolah dia ingin bilang kalau dia benar baik-baik saja.

“Icha-nya ada, tante?” tanyaku beberapa hari setelahnya. Ada rasa bersalah saat pada akhirnya aku ingat belum menanyakan kabarnya karena kesibukan pindahan sekolah baru. “Icha masih dirumah sakit, neng. Katanya besok mau pulang ke rumah, main kesini ya..” Setelah berbicara panjang menanyakan keadaannya, aku meng-iya-kan, menyanggupi untuk datang.

“Gimana sekolah baru? Kamu sibuk ya?” tanyanya lewat sambungan telpon di Jum’at sore. Dan berulang kali aku meminta maaf, bukan karena melupakan janji, tapi karena tak semenitpun meluangkan waktu untuk menanyakan kabarnya. “Maaf ya, minggu ini aku janji main ke rumah kamu.”

Malam itu aku selesaikan semua tugasku karena besok aku akan pergi ke rumahnya. Otakku sudah membuat draft sendiri apa saja yang akan aku ceritakan esok hari dengan sahabatku yang satu ini. Tentang sekolah baru, tentang kakak kelasku, tentang teman-teman baru, tentang keseharianku, tentang semua hal. Pun aku akan menanyakan apa saja yang sudah dia lalui selama kami tidak bertemu.

Tok tok tok..

“Gi, Icha meninggal dunia,” kata salah seorang teman rumahku dan semua mendadak putih abu-abu. Aku masih tidak percaya. “Lagi dijalan mau kerumah duka. Dimakamin di TPU bla bla bla.” Aku terjatuh. Saat itu seolah otakku tak berfungsi secara normal. Mataku menatap tapi tak ada bayangan. Tanganku gemetaran. Lalu, mulai tangis berjatuhan.

Cherisa.

Hampir 7 tahun aku mengenalnya. Beberapa kali menjadi teman sebangkunya. Teman yang selalu membuat aku tertawa karena lelucon konyolnya, segunung boneka dikamarnya, ibu yang luar biasa sabar dan baiknya, juga segala hal yang sering kali membuat aku iri dibuatnya.

Teman yang sejak kecil sudah harus merasakan sakitnya disuntik di lengan bagian kiri ataupun kanannya. Teman yang sejak kecil sudah familiar dengan rumah sakit beserta aromanya. Teman yang selalu tertawa ketika menceritakan cuci darah yang baru saja dialaminya. Teman yang berjuang dengan leukimia yang dideritanya..

Mereka bilang, bertahan selama itu sudah dapat dikatakan luar biasa. Tuhan memang luar biasa. Dari vonis dokter yang katanya mengatakan ia takkan bisa bertahan hidup lebih lama, nyatanya sampai ia berumur 13 tahun masih bisa tertawa gembira. Waktu memiliki caranya sendiri untuk membuat belajar seorang manusia. Dia, teman yang selalu terlihat senang gembira, baik dalam suka dan duka.

Kuharap, ada cerita lain untuk Cherisa. Semoga keajaiban menemaninya. Tuhan punya rencana lain kurasa..

Selamat ulang tahun, Cherisa Fatima Servia. Semoga kamu bahagia diatas sana. Terima kasih atas semua kenangan selama kita bersama. Terima kasih telah menjadi teman yang selalu mengingatkanku untuk selalu semangat dan tidak menyerah akan keadaan. Terima kasih sudah menunjukkan ketegaran yang luar biasa, semangat untuk hidup yang sesungguhnya.

Selamat ulang tahun. Semoga teman-teman di surga merayakan ulang tahunmu, yang seharusnya ke-23 di dunia.

Selamat ulang tahun, Cherisa.