YOU TOOK MY HEART AWAY, BANDUNG!

Konon, Bumi Pasundan diciptakan saat Tuhan sedang tersenyum. Setidaknya itu tulisan yang saya lihat terpampang jelas disalah satu ruas jalan utama kota ini. Alasannya? Banyak. Mungkin kamu bisa bertanya pada setiap ‘turis asing’ yang pada saat weekend, long weekend maupun hari libur nasional memilih untuk membanjiri kota ini dengan kuda besi dari kota asal mereka. Jujur, sebagai warga yang di KTP-nya tertera berkelahiran di kota Kembang, saya dan mungkin banyak diantara kalian setuju bahwa kini kota ini tidak senyaman dulu. Terlalu hectic. Terlalu bising. Terlalu ramai. Terkadang harus menghabiskan waktu berjam-jam dijalan untuk tiba di satu tujuan.

Wanawisata Batu Kuda, Kaki Gunung Manglayang
Pagi itu saya tiba pukul 2 pagi di pool Bus Primajasa setelah sebelumnya terbang dari Pulau Bangka menuju Jakarta dilanjutkan perjalanan darat selama kurang lebih 3 jam. Sudah beberapa kali dan kali ini saya masih merasa asing. Angin berhembus seiring dengan hentakan kaki saya saat turun dari bis, dingin, tapi sejurus kemudian senyum seorang pria yang berjalan dari tempat parkir membuat hati saya terasa hangat.

Walaupun masih merasa mengantuk, tapi saya tidak ingin membuang waktu. Jadi saya mengajak pria itu untuk segera menjelajah Bandung tepat setelah ayam jantan berkokok. Kondisi jalan yang masih basah sehabis hujan, membuat perjalanan menjadi lebih lama, karena sepeda motor yang kami tumpangi harus sedikit melambat apabila melewati medan yang becek, licin, dan tidak beraspal. 



Dari tempat parkir kendaraan, kami masih harus berjalan melewati jalan setapak dengan daun berguguran, kerikil dan sampah yang berserakan ditanah. Saya menatap seorang pria di samping saya sambil menggamit tangannya, sementara pria dihadapan saya ini fokus untuk berjalan kedepan untuk memilah jalan yang benar. Walaupun belum sampai ditempat tujuan, kami sudah tersenyum girang saat angin membuat pohon-pohon bergoyang dan menimbulkan suara khasnya. Breeze and the dancing trees.

Tempat ini pernah jadi tempat favorit untuk saya habiskan untuk berakhir pekan dengan teman-teman semasa SMA. Dulu sebelum tim My Trip My Adventure hits dan mendatangi setiap lokasi wisata beserta kru juga penonton yang jumlahnya hampir satu kelurahan, tempat semacam ini jadi alternatif yang menyenangkan karena belum begitu ramai wisatawan yang datang.

Sesekali ingatan saya terbang mengingat cerita seorang teman tentang caranya menikmati Bandung. Dia mengayuh sepedanya ke sebuah desa di kawasan Bandung Selatan. Melewati jalan menanjak, bukit terjal dan juga lembah curam. Dia juga menyusuri pinggiran sungai hingga 26 kilometer jauhnya dari pusat kota. Berjalan jauh dari beranekaragam convenience store, tempat para anak muda melabeli diri dengan cat gaul dan urban. Disana dia menyaksikan orang-orang yang membawa tumpukan karung besar berisi padi di atas sepeda sambil berkeringat. Atau bunga kol, kentang dan aneka hasil perkebunan lainnya yang mereka angkut ke dalam mobil bak untuk kemudian dijual di kota.

Atau cerita lain saat seorang teman menjelajahi kawasan Bandung Barat dengan komunitasnya hingga ia tiba ditempat luar biasa indahnya, saat itu ia bersumpah sudah melihat salah satu lukisan sempurna sang Maha Pencipta, menikmati hasil karya paling indah dari kanvas pemilik dunia dan seluruh isinya. Tempat dimana ia meng-aamiin-i bahwa memang benar Tuhan menciptakan Bumi Pasundan ketika ia sedang tersenyum. Dulu tempat ini belum banyak manusia lalu lalang apalagi selfie hanya untuk posting di Instagram, tempat yang kini lebih dikenal sebagai Tebing Keraton.


Lalu saya mengangguk, mengiyakan. Memang begitulah salah satu cara menikmati Bandung yang benar dan menyenangkan. Bukan dengan memenuhi jalan Ir. H. Juanda di Minggu pagi hari dengan berkedok euforia Car Free Day. Kawasan yang seyogyanya dijadikan kawasan untuk olah raga, alih-alih malah berubah makna menjadi kawasan pamer, dan wisata saja.



Seperti orang Indonesia pada umumnya, setiap kali menemukan spot bagus kami berhenti sejenak, menikmati pemandangan, sambil sekali dua kali selfie. Karena kondisi jalan setapak yang licin, kami harus berjalan ekstra hati-hati dan alasan itu pula yang membuat saya terus menggamit tangannya. Beberapa kali pula kami berhenti sejenak, untuk beristirahat sambil bercerita tentang apa saja. Satu tahap sudah kamu lalui, La Tahzan, Allah bersama orang-orang yang sabar, katanya sambil mengelus kepalaku. Bijak. Saya hanya tersenyum getir, diiringi tawanya yang ringan. Awalnya sederhana. Berawal dari hal itu kami semakin terbuka, hubungan kami semakin erat. 

Beberapa saat kemudian ingatan saya terbang pada saat saya sedang sendirian berada ditengah kerumunan manusia yang hilir mudik berjalan, tertunduk pada layar pintar sambil berpegangan tangan. Bukan, bukan begitu cara menikmati Kota Bandung yang menyenangkan, bukan itu caranya membuat sebuah liburan terasa berkesan. Bukan. Bukan dengan mengambil foto yang kemudian instant di upload melalui Path atau media sosial lain setiap saat. Bukan dengan memotret makanan dan dengan teliti membubuhinya hagstag di Instagram, bukan juga dengan menandai semua tempat sebagai check in disebuah ‘kotak persegi empat’. Sekali lagi, bukan. 

Ada sesuatu yang lebih menyenangkan. Ada sesuatu yang akan meninggalkan kesan. Menemukan perasaan bebas dan penasaran akan sebuah kota, menikmati jalan-jalan dipinggiran Braga sambil bercengkrama bersama keluarga atau orang yang bisa kita genggam erat tangannya. Menyantap jajanan kaki lima yang walaupun tidak mahal tapi lezat rasanya. Menikmati Lembang lengkap dengan ulen dan bandrek panasnya. Tertawa dan bercanda sepuasnya dengan teman-teman yang sudah lama tidak berjumpa. 

Itu cara menikmati Bandung yang menyenangkan. Bukan di layar seukuran empat inchi, bukan dengan yang lainnya. Katanya, suatu saat nanti kalian akan menyesal menghabiskan waktu di kota paling indah hanya melalui sebuah layar. 


Tapi Bandung kini sudah begitu banyak kemajuan, setelah Kang Ridwan Kamil sang Walikota ganteng 'mengambil' alih kota ini. Pedagang kaki lima di Pusat kota sudah tertata, Masjid Agung jadi tempat berselfie ria, taman kota ada dimana-mana, car free night diseputaran jalan Braga dan sekitarnya belum lagi aneka perkembangan lain yang semakin membuat anak rantau macam saya ini kepikiran untuk resign *eh maaf ini bercanda.

Terpisah jauh dari kota kelahiran memang sering membuat saya rindu tak karuan mengingat tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan untuk pulang. Biarpun batagor sama bubur ayam pinggir jalan harganya sudah hampir menyaingi nasi padang pakai rendang, nggak ada mall, pesen teh tawar bayar, ya nikmatin dulu aja. Mungkin Allah masih pingin ngasih waktu saya untuk banyakin piknik 2 tahun lagi di pulau yang dikelilingi pantai ini, mungkin Allah belum ngijinin saya kembali ke Bandung, takut sering belanja ke Pasar Baru atau bakal kebanyakan makan micin karena beli basreng SMA 7 hahaha.

Bagaimanapun bagi saya Bandung itu everything. Setiap sudut jalannya punya kenangan tersendiri. Bahkan dulu saya pernah begitu menikmati 120 detik lampu merah. Bandung adalah kota paling menyenangkan, kota yang bahkan tidak memberi saya alasan untuk sekedar membuat sebuah tweet perihal ‘I hate Monday’. Ah, Bandung. 


Sambil berjalan pulang kami tertawa, lalu tiba-tiba pria itu melempar sebuah lelucon lucu. "Ah, Abaaaaah mah ih meniiiii", timpalku sembari mencubit perut buncitnya. Sudah lama rasanya tidak sebahagia hari ini.



...and yes, I left my heart in Bandung, so I decided to go back there. to take it back!



"Tulisan ini diikutkan dalam niaharyanto1stgiveaway : The Unforgettable Bandung"


***

Alhamdulillah, tulisan ini jadi salah satu pemenang dari 15 pemenang #Niaharyanto1stgiveaway :)