Wisata Religi di Candi Cangkuang



Minggu lalu setelah menyelesaikan satu dan berbagai hal di Bandung, hari Sabtu pagi saya berangkat menuju Garut. Sayangnya hujan pagi itu terus mengguyur Bandung tanpa henti. Dari niat awal berangkat pukul 05.30, akhirnya kami berangkat pukul 8.00, itupun dengan kondisi cuaca yang masih gerimis kecil. Setelah melewati perjalanan panjang jalan Soekarno-Hatta, Ujung Berung, Cileunyi, dan Rancaekek, perjalanan sedikit terhambat dengan adanya kemacetan yang disebabkan banjir tapi selanjutnya sih lancar.

Candi Cangkuang terletak di Garut, atau lebih tepatnya di Kecamatan Leles, Kampung Pulo. Pemandangan menuju kemari juga lumayan indah, melewati pesawahan menghijau dan sungai kecil yang mengalirkan air jernih. Begitu sampai kami memarkirkan kendaraan didepan sebuah rumah makan. Dari sana kami memasuki kawasan wisata dan membayar biaya masuk sebesar 3ribu rupiah per orang. Karena pagi itu cukup sepi, kami memutuskan untuk ngobrol-ngobrol dulu dipinggir danau dan nggak langsung menyebrang ke lokasi candi.

Jadi, nama Candi Cangkuang sendiri diambil dari nama desa tempat candi ini berada katanya. Candi Cangkuang merupakan salah satu cagar budaya, dimana lokasinya ini terletak di sebuah daratan di tengah danau kecil atau kalau orang sunda sih lebih sering menyebutnya 'situ'.  Nah, untuk menyebrang ke tempat candi inilah kami harus menyebranginya dengan menggunakan sebuah rakit. 

Akhirnya setelah menunggu, beberapa rombongan lain datang untuk menyebrang dengan begitu kan biaya untuk menyebrang bisa dibagi rata dan jauh lebih murah. Satu rakit untuk menyebrang dihargai 80ribu, untungnya seorang bapak dari rombongan itu menawar dan akhirnya kami hanya cukup membayar 6ribu per orang.


Setelah menyebrang kemari, sebelum memasuki area candi kami melewati jajaran penjual souvenir disini. Ada yang berjualan makanan, baju bergambar candi cangkuang, lukisan, ukiran kayu dan beberapa jenis souvenir lainnya untuk dijadikan oleh-oleh oleh para wisatawan yang datang kemari.

Dari situ, saya melewati 7 buah rumah yang kemudian diketahui adalah rumah ada Kampung Pulo. Sebetulnya sih hanya ada 6 rumah dengan 1 musholla kecil. Rumah-rumah ini berbentuk rumah panggung, khas banget tatar sunda kan ya.


Menyusuri jalan berbatu akhirnya kami sampai di Candi Cangkuang. Candi ini cukup kecil, maka jangan bandingkan atau dibayangkan seperti candi Prambanan atau Candi Borobudur. Sebelum memutar untuk melihat candi dari dekat, saya melewati sebuah makam. Berdasarkan informasi yang tertera pada papan disana, makam itu adalah makam Embah Dalem Arif Muhammad.

Candi Cangkuang ini mungkin berukuran kurang lebih sekitar 4 x 4 meter dengan tinggi puncak atap candi 8 meter. Atap candi ini bersusun seolah membentuk segitiga, seperti piramid. Nah, sedangkan pintu masuk ke dalam bagian dalam candinya sendiri terdapat sebuah tangga kecil. Tapi sayangnya kita tidak bisa masuk ke dalam candi karena akses masuk telah dipasang pintu berterali besi yang terkunci. Sedangkan didalam candi sedniri terdapat sebuah arca syiwa.






Informasi yang saya dapatkan dari sebuah museum disana menyebutkan bahwa Candi Cangkuang ini ditemukan kembali pada tahun 1966. Saat saya memasuki museum, saya mendengar percakapan penjaga museum dan seorang bapak bahwa katanya jumlah rumah di kampung pulo ini sesuai dengan anak Mbah Dalem Arif Muhammad. Maka dari itu, kampung pulo memiliki 6 buah rumah adat, dimana katanya lagi jumlah dari rumah tersebut juga tidak boleh ditambah atau dikurangi dan juga tidak boleh lebih dari 6 kepala keluarga.

Di dalam museum ada banyak benda-benda peninggalan pada masa kerajaan dulu. Ada al-quran yang ditulis di atas kertas yang terbuat dari kulit dan kayu. Disana juga ada foto-foto saat pemugaran candi cangkuang dari tahun ke tahun. Di bagian lain juga ada beberapa foto orang dan juga lukisan Mbah Dalem Arif Muhammad.
Setelah puas berkeliling-keliling lokasi candi dan sekitarnya, saya dan teman-teman memutuskan untuk kembali ke Bandung. Sayangnya saat menaiki rakit menuju ke sebrang untuk pulang, tiba-tiba hujan mengguyur lagi dengan derasnya. Wo hooooo!


Perjalanan pulang kami sengaja melewati jalur lingkar nagreg. Terakhir kali saya kemari dulu sewaktu jalanan ini baru rampung dikerjakan karena mengejar libur lebaran dengan kondisi yang cukup menyeramkan. Tapi kemarin rasanya semua infrastruktur sudah diperbaiki dan pemandangan disana juga cukup bagus, melewati pegunungan, dan tentu diperlukan ke hati-hatian yang ekstra.


Happy Holiday!
agistianggi