Lawang Sewu dan Kisah Seribu Pintu

Bandung, 23 Juli 2015
Stasiun Bandung. Bunyi Peluit. Dan perjalanan ini dimulai..


Ada perasaan aneh yang aku rasa sebelum memulai perjalanan ini. Ada hal yang berbeda dan menyesakkan dada. Sempat termenung beberapa lama hingga akhirnya suara panggilan penumpang untuk naik kereta dikumandangkan lewat pengeras suara. Senyum petugas check-in yang terlihat kurang bersemangat, entah karena kelelahan atau karena dia piket jaga malam dan belum tidur seharian, entahlah. Aku pun hanya membalas senyum dengan seadanya.


Pikiran yang mengawang keluar jendela memunculkan satu persatu memori yang seharusnya tidak datang. Untuk menenangkannya aku hanya bisa menarik nafas panjang.. Perjalanan malam Bandung – Semarang ini cukup melelahkan, tapi aku malah tidak bisa tidur semalaman. Pikiranku berjalan-jalan sepanjang malam.

***

Awan hitam dibalik jendela perlahan mulai menerang. Dan adzan subuh seolah menyambut kedatanganku pagi itu di Semarang. Seulas senyum gadis yang kukenal terlihat dari kejauhan, dia menjemputku dari stasiun di pagi buta yang ternyata jaraknya cukup jauh dari tempat dia tinggal. 

Anehnya saat sampai di Semarang aku malah tidak ingin kemana-mana. Tidak berniat untuk kemana-mana. Entah kenapa tapi rasanya hatiku kian tidak karuan. Dua gadis yang kukenal harus menjalankan kewajibannya untuk bekerja, dan aku sendirian. Sempat terpikirkan untuk diam saja dikamar seharian, menonton atau melakukan apapun yang membuat aku bisa tertawa. Tapi rasanya itu tidak akan merubah keadaan.

Jadi, akhirnya aku putuskan untuk berjalan-jalan sendirian. Berbekal Google Maps dan Waze, aku mulai berkeliling Semarang tanpa arah, tanpa tujuan. Lucu memang, aku hanya menuruti setiap perintah mengikuti arus jalan, belok kiri, lurus atau belok kanan, lalu aku tiba sampai tempat tujuan. Mungkin seperti itu hakikatnya perintah Tuhan ya, kita hanya harus menuruti apa perintahNya dan Dia akan menuntun kita sepanjang jalan kehidupan.




Lawang Sewu jadi tempat pertama dan terdekat yang aku kunjungi hari itu. Euforia libur Idul Fitri sepertinya memang masih digunakan banyak keluarga untuk menghabiskan liburan. Aku memarkirkan kendaraan, membayar tiket masuk, dan mulai berkeliling disana. Setelah diperhatikan mungkin hanya aku yang berjalan sendirian ditengah keramaian orang-orang. Tak apa. Aku hanya terus berjalan. Menikmati kesendirian ditengah keramaian. Aura bahagia terlihat dari setiap pengunjung disana. Ada yang bercanda tawa dengan keluarganya, tegur sapa dengan temannya, berlarian mengejar anaknya, saling bertukar cerita dengan pasangannya. Aku hanya sibuk berfoto dengan tongsis yang disenderkan dipinggiran jendela. Ha! Dan karena itu aku sempat ditertawakan oleh seorang ibu yang mulai terlihat menua. Aku bersyukur tidak begitu paham bahasa jawa, jadi aku hanya tersenyum bingung membalas ucapannya.

 



Menyusuri bangunan tua di Lawang Sewu ini mengingatkanku pada beberapa hal tentang kehidupan. Banyak cerita yang dipajang, banyak sejarah yang diabadikan, banyak benda yang disimpan. Tak beda jauh dengan kehidupan, kan? Ia memiliki banyak cerita, sejarah, pajangan bahkan benda yang kemudian hanya jadi kenangan. Time flies, orang bilang. 

Lagi, aku menyusuri setiap koridor bangunan. Lawang Sewu jika diartikan adanya adalah Seribu Pintu. Ya, memang disini ada begitu banyak pintu dari satu ruangan ke ruangan lain. Ada pintu yang tertutup ada pula pintu yang terbuka. Banyak pintu yang tertutup seolah tak boleh ada yang tahu apa yang ada didalamnya, tak boleh ada seorang pun yang masuk kesana, seolah meyakinkan bahwa ada hal penting dan sangat rahasia yang ia jaga didalam sana. Jadi tak boleh ada yang tahu, tak boleh ada yang masuk kedalamnya.





Ketika mulai lelah berjalan, aku duduk dibawah pohon rindang. Ditemani sekumpulan ‘band’ orchestra jawa, lantunan lagunya membuat pikiranku kembali mengawang. Genggaman tangan dan kata ‘sayang’ di ujung kalimatnya, membuatku pernah begitu yakin ke mana hati harus berlabuh. Memilih sebuah rumah untuk bersemayam dan merencanakan kehidupan. Tapi ternyata setelah perjalanan panjang yang berliku, ia memang harus berhenti. Menarik napas panjang, berpikir lebih jernih, dan memperbaiki apapun untuk menjadi lebih baik. Fase ini memang harus terlewati. Dengan melalui banyak pelajaran, pemahaman, dan pemikiran yang jauh lebih matang. 

Aku ingat pesan Ibuku sebelum pergi, bahwa hidup bukan melulu soal cinta, bukan melulu soal kesenangan. Namun juga soal kesiapan. Kesiapan untuk jatuh cinta, menjaganya, merencanakan jalan yang membentang didepan, saling menopang dan menguatkan, meski terkadang tanpa sengaja kita sendiri yang mematahkannya. Biarkan segala sakit mampu menyembuhkan dirinya sendiri. Bahwa tidak ada yang sia-sia atas segala upaya dan doa, karena sesungguhnya Tuhan Maha Melihat dan Maha Mendengar. Mungkin Dia mencoba mengingatkan aku agar tidak jatuh terlalu dalam, mencoba mengingatkanku bahwa patah hati juga butuh persiapan. Bahwa aku hanya boleh menggantungkan harapan dan cinta padaNya, bukan pada manusia.

Sama halnya seperti pintu-pintu di Lawang Sewu ini, mungkin akan butuh waktu untuk aku membuka pintu-pintu setelah sekian lama menjaga apa yang ada didalamnya. Kini aku harus mulai membersihkannya, mengumpulkan serakan perasaan, dan menatanya agar kembali baik-baik saja. Yang lebih penting lagi, aku harus bisa memaafkan diriku sendiri dulu untuk memperbaiki semuanya.





Semarang, 24 Juli 2015