Semarang; Kelenteng Sam Poo Kong di Suatu Siang



Semarang, 24 Juli 2015 [Lagi]

Perjalanan di kota Semarang masih belum selesai. Setelah puas mengelilingi Lawang Sewu, sempat merasa 'tersesat' sebelum akhirnya sampai ke Goa Kreo dan Waduk Jatibarang, Klenteng Sam Poo Kong jadi tujuan selanjutnya. Karena penasaran dengan petunjuk jalan menuju beberapa desa wisata juga, tapi nggak kesampaian karena waktunya yang serba terbatas. 

Hari itu pengunjung ramai sekali. Aku memarkirkan kendaraan dan berjalan menuju tempat penjualan tiket masuk. 'Sendiri aja, Mbak?', tanyanya. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk. Berbekal lima ribu rupiah, petugas tiket menukarnya dengan sebuah kertas tanda aku diijinkan masuk ke dalam lokasi Klenteng. Saat sudah didalam aku malah kikuk berjalan sendirian. Klantang klinting. Lirik kanan kiri seolah berharap bertemu seseorang yang kukenal. Tapi nihil hasilnya.

Jadi, kunjungan ke Klenteng Sam Poo Kong kali ini semacam studi banding antara Klenteng Bangka dan Klenteng Semarang. Aha! Di Bangka juga sudah sering aku berkunjung ke Klenteng, tanpa mengurangi rasa hormat kepada orang-orang yang hendak beribadah, aku selalu penasaran dengan bagaimana cara setiap umat menyembah kepada Tuhan yang mereka percaya. Bagaimana setiap manusia mengungkapkan syukur atas nikmat yang dia terima selama di dunia dari Sang Pencipta. Dengan cara yang berbeda-beda. 





Jadi, komplek Klenteng Sam po Kong terdiri dari sejumlah anjungan yaitu Klenteng Besar dan gua Sam Po Kong, Klenteng Tho Tee Kong, dan beberapa tempat ibadah lainnya. Klenteng Besar dan gua merupakan bangunan yang paling penting dan merupakan pusat seluruh kegiatan ibadah katanya. Klenteng ini merupakan tempat persinggahan dan pendaratan pertama seorang Laksamana Tiongkok beragama Islam bernama Zheng He/Cheng Ho. Lokasinya sendiri berada di daerah Simongan, Semarang.

Seperti klenteng pada umumnya sih, hampir keseluruhan bangunan bernuansa warna merah. Dari beberapa artikel yang aku baca sebelum pergi ke Semarang tentang kelenteng ini disebutkan sejarah awal kelenteng ini berdiri. Didalam klenteng juga ada semacam altar serta patung-patung yang orang beragama Konghucu sembah karena dianggap sebagai dewa. Tiap tempat pemujaan mempunyai namanya tersendiri. Nah, karena tempat ini sebetulnya memang untuk ibadah maka nggak semua orang boleh memasukinya. Aku juga cukup sadar diri sih kalau harus masuk-masuk ke dalam tempat ibadah cuma sebatas untuk foto-foto. 

Jika masuk ke Klenteng Sam Poo Kong dari pintu bagian utara, kamu akan melihat disebelah kiri ada mushola untuk para pengunjung muslim disini. Seharusnya ini yang dinamakan indahnya toleransi beragama di Indonesia, menurutku. Harmonis dan berdampingan. Yang bikin 'eneg' itu ketika agama dijadikan kambing hitam untuk kepentingan politik dan bisnis semata.




Sampai sekarang aku masih bertanya-tanya sih saat melihat foto jalan-jalan kali ini, kok ternyata berani ya, kok ternyata bisa ya. Ini kali pertama aku jalan-jalan sendirian di kota orang. Lucu memang. Setiap orang, pada saatnya nanti akan mengalami satu titik dimana hidup sudah sampai 'peak-moment'. Saat dimana kamu bertanya-tanya mau berjalan kemana arah langkah selanjutnya hidup kamu sendiri, mencari apa kamu dalam hidup sesungguhnya. Saat dimana kamu mulai jengah melihat bagaimana harga diri seseorang seakan ditentukan oleh jenis pekerjaan apa yang kamu punya, berapa gaji yang kamu terima atau jabatan apa yang disandingan dibawah namamu.






Aku meyakini satu hal sih, kalau semboyan go with the flow nggak akan membuat hidup kita bergerak ke arah yang lebih baik. Sesantai apapun kamu, hidup harus tetap punya tujuan yang ingin dicapai. Salah satu langkah awal adalah dengan merencanakannya. 

Ada saatnya hidup juga punya selera humor unik yang bisa memutar-balikkan semua rencana yang sudah disusun rapi. Dang!!@#$? Berhasil melewati saat-saat tersulit rasanya nggak ada tandingannya. Bisa membantu kedua orang tua dan membuat mereka tersenyum itu bahagianya nggak terkira. Kemudian dari situ baru sadar bahwa saat kita merasa jatuh, kita nggak bisa mengandalkan siapapun selain diri sendiri. Doa dan dorongan dari orang tersayang memang bisa membuat kita berdiri, tapi kita nggak akan bisa berjalan jika semangat untuk keluar dari kesulitan bukan keluar dari hati. Lalu kita akan mulai menguatkan diri untuk menghadapi berbagai masalah dengan berani.




Salah satu resolusi aku sebelum berumur seperempat abad di tahun depan sudah direalisasikan, mencoba traveling sendirian. Aku nggak ingin ketika usia yang semakin tua dan merasa kering pengalaman, barulah aku merasa menyesal. Selama ini tanpa sadar aku terlalu memanjakan diri dengan kenyamanan hingga aku merasa begitu minim akan pengalaman.

Setelah semua yang sudah terlewati, setidaknya membuatku sadar kalau manusia penuh dengan keterbatasan. Bahwa aku perlu lebih dari sekedar sabar agar mendapatkan 'hidup' yang baik. Lalu sekarang yang bisa dilakukan adalah terus memperbaiki dan memantaskan diri untukNya, melibatkanNya dalam setiap keputusan hidup. Memasrahkan pilihan padaNya. Belajar meminta yang terbaik menurutNya, bukan lagi untuk memaksakan keinginan pribadi untuk diwujudkan. 



Kali ini aku berjalan-jalan tapi lebih banyak 'belajar'
Hello goodbye, Semarang!