Suatu Sore, Sendiri, di Pantai Kuta Bali!

'Surfing yoh, mbak?!', tutur seseorang tiba-tiba menghampiri saat aku baru tiba di Pantai Kuta sore itu. Aku menggelengkan kepala dan tersenyum, sebuah cara halus untuk menolak tawarannya. Setelah check-in hotel siang itu, mandi dan bersiap akhirnya aku move-on dari tempat tidur untuk terus mulai mengitari daerah Kuta. Suara Mbak Google Maps jadi teman setiaku berjalan-jalan liburan kali ini. Jalanan Kuta yang terbilang sempit karena lalu lalangnya kendaraan, parkiran ditepian jalan dan bule yang hilir mudik berjalan.

Setelah melarikan diri dari orang itu, nggak lama kemudian ada dua orang lagi yang menghampiri dan menawarkan hal yang sama. Tapi kali ini beda, mereka nggak memaksa. 'Sendirian, mbak?', tanyanya. Aku meng-iya-kan. Siapa sangka dari pertanyaan usilnya membuat kami terlibat dalam percakapan panjang dan bagiku bermakna dalam. Mereka perantau, mencoba mencari nafkah dan secercah harapan di Bali dengan bekerja serabutan, jadi Tour Guide dadakan, memberi jasa sewa kendaraan, menjadi coach surfing dan aneka pekerjaan sejenis lainnya. Bang Erwin berasal dari Jakarta, sedang Kang Iki dari Sumedang. Mungkin karena sama-sama berasal dari Sunda percakapan itu bisa cukup panjang. Karena entah kenapa, walaupun berbincang dengan orang asing aku merasa aman.


Keduanya bilang baru mau 2 tahun merantau di Bali. Dan yang jadi pertanyaanku, kenapa harus Bali? Dan lagi keduanya menggeleng bersamaan. Ketika ada kemungkinan yang lebih baik saat tinggal di kota-kota besar lainnya, tapi mereka memilih Bali. Tanpa ada keluarga, tanpa ada teman yang keduanya kenal. Perkenalan mereka pun lucu, dari 'sok akrab' hingga akhirnya jadi partner bisnis dan teman seperjuangan. Dan saat itu keyakinan aku semakin bertambah besar bahwa di dunia ini nggak ada yang namanya kebetulan.

Sekitar 30 menit berbincang kesana kemari tidak terasa waktu semakin sore. Aku sempat lupa bahwa waktu di Bali satu jam lebih cepat daripada di Bandung. Keduanya sempat menawarkan diri menemani berjalan-jalan di Bali keesokan harinya, tapi aku menolak dengan halus. Walaupun mereka berniat baik, aku tetap harus waspada apalagi ini kali pertama bertemu orang baru kukenal. Akhirnya aku pamit untuk berkeliling lagi di sekitaran pantai Kuta.

Sayangnya sore itu awan menutup pemandangan sunset yang katanya indah saat orang-orang berburu kemari. Jadi aku hanya menikmati cahaya-cahaya yang keluar diantara awan sebelum matahari berpamitan. Melihat pemandangan orang-orang berenang, anak-anak berlarian, para pedangang menjajakan dagangannya, para bule tertidur dengan 'hampir telanjang'. Melihat orang berjalan lalu lalang, berulang.

Sampai akhirnya hendak beranjak untuk shalat Maghrib, masalah muncul ketika sadar mulai bingung mencari mushala. Bahkan di pom bensin pun tidak ada keterangan ada mushala disana.



Berjalan menyusuri pantai kuta sore itu banyak pemandangan menarik sampai aku duduk disalah satu tempat sepi. Di Bali kemarin aku berusaha untuk benar-benar intropeksi diri. Mencoba untuk membenahi dan memperbaiki diri untuk terus berjalan kedepan. Aku sadar bahwa sekuat apapun hati, nyatanya kehilangan akan mampu merombak pertahanan. Melepaskan ternyata jauh lebih sulit dilakukan ketika semua dirasa sudah diupayakan dengan keras.




Feeling disappointed while having nothing to blame but ourself, is the worst feeling ever memang. Dan pantai, orang lalu lalang, juga lagu everybody's changing-nya Keane menemaniku sore itu di Kuta. 



Being sad for long time is not good. Be happy, gis!
Kuta, Bali, Agustus 2015