Cinta Luar Biasa di Sebuah Sekolah Luar Biasa

Sewaktu kecil saya punya sejuta impian. Ketika ada yang bertanya mau jadi apa kelak saat dewasa, di satu waktu saya akan dengan mantap menjawab dokter, di waktu lain saya akan menjawab aktris, selanjutnya polisi wanita, guru, designer dan lain-lain-lain sebagainya. Seiring berjalannya waktu, seiring bertambah usia dan berkembangnya pola pikir seseorang, maka impiannya pun akan berubah-ubah. Begitu juga saya.

Semenjak duduk di bangku sekolah dasar, bagi saya guru adalah orang tua kedua disekolah. Bahkan terkadang saya lebih sering menuruti apa yang diperintahkan atau disarankan oleh ibu dan bapak guru daripada orangtua sendiri. Guru mempunyai tempat tersendiri di hati para muridnya. Seorang guru yang baik dapat membangun dirinya untuk dapat mendidik, menginspirasi, menggerakkan anak didiknya untuk mengubah diri mereka menjadi jauh lebih baik.
 

Lebih jauh, perilaku seorang guru kerap kali dijadikan panutan bagi anak-anak didiknya. Karena tanggung jawab seorang guru bukanlah sekadar menjelaskan subyek atau materi pelajaran, selain memberikan contoh sikap, ia juga harus menunjukkan kepada para anak didiknya bahwa kemauan untuk terus belajar dapat meningkatkan kreatifitas dan memaksimalkan potensi diri. 

Seiring berjalannya waktu, beberapa waktu lalu sebuah mata kuliah menuntun saya untuk sedikit mencicipi bagaimana rasanya menjadi seorang guru. Bukan guru biasa, melainkan menjadi seorang guru untuk anak-anak luar biasa di sebuah sekolah yang juga luar biasa. Dan dari sana saya belajar bahwa menjadi guru itu tidak mudah, diperlukan suatu usaha dan kerja keras untuk mencapainya..

Sebuah bangunan sederhana dibangun diatas sebidang tanah yang berukuran cukup luas untuk para siswa bermain-main sesuka hatinya, walaupun lokasinya agak terpencil—Sekolah Luar Biasa di daerah Sarijadi, Bandung. 


Sebelumnya, setiap hari, baik itu saat akan berangkat ke kampus maupun pulang, saya selalu melewati tempat ini. Tempat yang kerap kali menarik perhatian saya, juga mungkin setiap orang yang lalu lalang melewatinya. Tempat dimana ada sekelompok anak ‘tidak biasa’, walaupun beberapa diantaranya tidak pantas untuk disebut anak-anak jika melihat wajah dan tekstur tubuhnya. Mereka berkumpul dan bermain dengan senang riang. 



Saat itu saya kerap bertanya-tanya sendiri sebetulnya seperti apasih anak-anak ini, dan akhirnya mata kuliah ini mengiring saya untuk menuntaskan rasa penasaran yang menggelayuti pikiran dan hati saya. Saya diharuskan untuk bekerja secara sukarela selama 6 bulan penuh dihari libur bersama tiga teman lainnya. Dan secara kebetulan, tempat ini yang diarahkan Tuhan untuk saya. Ya, sekolah ini. :)

*** 

Autisme. Autis, merupakan salah satu gangguan perkembangan fungsi otak yang bersifat pervasive yaitu meliputi ganguan kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan gangguan interaksi sosial pada seorang anak. Kata pertama yang melintas dibenak saya sebelumnya, mungkin juga kebanyakan orang, ketika mendengar kata Autis disebutkan sepertinya sama yakni ‘anak yang sedikit aneh’. Disadari atau tidak, diakui atau tidak, kita kerapkali memberikan ‘perhatian’ khusus ketika bertemu dan melihat anak dengan disabilitas ini. Entah itu diangkutan umum, di mall, di jalan, dimana pun. 

Pun seringkali saya mendengar kata ‘autis’ ini dijadikan sumber olok-olok atau ejekan untuk sesama teman. Ketika seseorang melakukan hal yang tidak biasa sendirian, teman lainnya kerap memanggil dia, ‘Ih, autis lu’. Tapi semua itu berubah ketika akhirnya saya bersentuhan langsung dengan anak-anak berkebutuhan khusus ini. Bagi saya, mereka adalah anak-anak luar biasa yang harus diberi cinta luar biasa.

Sebut saja Ludwig Wittgenstei, seorang filsuf terkenal, ia tidak bisa bicara sampai ia berumur 4 tahun. Ia mengatakan bahwa ketidakmampuannya untuk mengerti manusia lainnya sama seperti orang mendengarkan orang lain berbahasa asing, sehingga ia tidak menguasainya. Akan tetapi ternyata Ludwig mempunyai intelektual yang tinggi dan akhirnya menulis karya filosofi yakni Tractus Logico Pholosophicus.

Juga ada Albert Einstein dan composer Erik Satie. Juga Henry Cavendish, seorang bangsawan dan ilmuwan di abad ke-18 yang memberikan namanya untuk sebuah laboratorium di Cambridge. Hasil penemuannya yang terkenal adalah Hidrogen. Orang-orang tersebut merupakan orang yang dahulu divonis menginap autisme dari kecil. 



***

Spent every Saturday morning with student SLB Purnama Asih sharing happiness with children through storytelling. And I’m so excited! 

Kenyataannya mengajar anak-anak ini sungguh tidak mudah. Butuh keahlian ‘khusus’, perlu kesabaran ekstra. Para guru disana merupakan lulusan dari jurusan ilmu pendidikan luar biasa dan menurut saya mereka luar biasa. Kesabaran yang mereka tunjukkan saat menghadapi anak-anak ini patut diacungi jempol. Ketekunan mereka saat menjelaskan suatu pelajaran secara berulang-ulang juga. Semua kasih yang mereka tunjukan merupakan bagian dari perjalanan pengabdian untuk membagi kasih sayang dengan anak-anak berkebutuhan khusus yang selama ini lebih banyak terpinggirkan dari kehidupan masyarakat normal.

Hari pertama mengajar saya diajak untuk mengajarkan pelajaran bahasa Indonesia lewat bercerita dari sebuah buku dongeng. Awalnya saya sangat bingung karena saat bercerita beberapa anak asyik dengan dirinya sendiri, ada yang menggambar, ada yang membuat pesawat kertas, yang pasti hanya beberapa anak yang memperhatikan. ‘Sabar,’ kata Bu Guru.

Hari pertama mengajar saya kacau balau, karena saya masih kaget dan belum bisa mengendalikan mereka. Katanya cara agar diterima menjadi guru mereka adalah menekankan pada pendekatan individu, karena dari penjelasan seorang guru disana mengatakan bahwa anak-anak ini cenderung akan sangat menutup diri jika bertemu orang baru atau asing bagi mereka. Minggu kedua, keadaannya masih sama, saya cenderung diacuhkan oleh anak-anak ini. Hampir putus asa sebetulnya, tapi semangat dan tips dari para guru memberikan suntikan semangat bagi saya untuk pantang menyerah.

Anak-anak ini cenderung menyembunyikan wajah ketika bertemu dengan orang lain, bahkan tidak jarang tiba-tiba berlari saat saya tanya. Beberapa anak malah hanya mau bersama ibu atau anggota keluarganya saja, tidak mau berinteraksi dengan orang lain bahkan teman-teman sekolah mereka sendiri. Misalnya setelah jam istirahat habis biasanya agak sulit untuk diajak masuk ke dalam kelas untuk belajar lagi. Kebanyakan masih ingin bermain di halaman sekolah, berlari-lari, tertawa maupun bermain bola. Terkadang memang kelakuan anak-anak ini membuat guru sedikit pusing dan gemas tapi memang harus dimaklumi.

Di minggu ketiga saya mencoba sebuah alternatif lain. Saya mengajak anak-anak itu untuk mendongeng secara interaktif. Saya berjalan dari satu meja ke meja lain, membuat cerita dengan mereka sebagai pemerannya. Dan itu berhasil. Sedikit demi sedikit mereka mulai memperhatikan saya, dan tidak lagi menutup diri. 

Setelah mengajar selama beberapa lama, saya memperhatikan bahwa karakteristik setiap anak disini memang berbeda-beda. Ada anak yang sama sulit berkomunikasi baik secara verbal maupun nonverbal, namun ada juga yang mudah beradaptasi dan sedikit cerewet. Adapula yang memiliki cara berkomunikasi unik, dia mencari perhatian orang-orang disekelilingnya, menarik-narik tangan orang lain untuk menyampaikan keinginannya. 

Pernah pada satu waktu saya dibuat kaget karena salah satu anak tiba-tiba berteriak, lalu menangis. Para guru disana menenangkan, katanya anak ini merasa terganggu oleh temannya makanya dia berteriak. Anak yang mengidap autisme memang kebanyakan tidak dapat mengontrol emosi mereka.


Rasa sedih terkadang menghampiri saya ketika membayangkan menjadi mereka atau keluarganya. Bahwa anak-anak ini tidak pernah menginkan terlahir dalam kondisi kekurangan, dengan keterbatasan. Dan betapa saya bersyukur bertemu dengan guru-guru luar biasa yang berusaha membuat mereka berharga dengan memberikan berbagai bekal keterampilan dan ilmu yang semampunya dapat mereka terima. 

Kebahagiaan seorang guru terkait dengan tanggung jawabnya mendidik dan mengajarkan nilai-nilai penting dan inspiratif terhadap para anak didiknya. Ada yang bilang, s
eorang guru akan merasa bahagia jika tidak membebani hidupnya dengan orientasi mendapatkan imbalan, walau tidak bisa dipungkiri bahwa hal itu dibutuhkan. Ia bahagia karena tidak pernah mengharap balas jasa dari murid atas semua yang diberikannya. Ia sudah cukup senang dapat mengabdikan diri untuk membentuk para tunas bangsa menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.

Mungkin ini juga salah satu cara Tuhan mengajari saya akan rasa syukur. Bahwa rasa syukur yang besar terhadap Tuhan senantiasa mendatangkan keindahan dan kebahagiaan. Rasa syukur membuat seseorang lebih bahagia, karena rasa syukur itu membuatnya mendapat hal-hal yang lebih dari yang dia rasa sebelumnya.

Banyak pelajaran yang saya ambil selama berkesempatan mengajar ditempat ini, belajar tentang menerima kekurangan, belajar untuk menghargai, belajar tentang rasa syukur, belajar tentang hidup. Belajar menghargai ketidaksempurnaan orang lain, menghargai pencapaian hal-hal sederhana, meresapi pengalaman berbeda, dan tentu saja belajar mencintai dengan cara yang tidak biasa untuk anak-anak luar biasa.


Tulisan ini draft awal yang tadinya akan diikutsertakan dalam sebuah kompetisi menulis 'Karya Pelangi', tapi berhubung ternyata melewati dateline jadi apa salahnya diposting diblog  :)





Nb: Ngomong-ngomong aku rindu kalian mantemaaaaaaan