Sebuah Pantai, 07.40, Angin Kencang

Minggu pagi. Tidak seperti minggu biasa, yang biasanya hanya bangun untuk shalat subuh lantas tidur lagi hingga matahari hampir mencapai puncaknya. Pagi ini sedikit berbeda memang, aku bersiap pergi berjalan-jalan dan pantai menjadi pilihannya..

Alunan lagu yang tersalur melalui earphone menjadi teman perjalanan yang menenangkan, walau rasanya nada lagu dan arah pikiran tidak seirama. Tidak sejalan.

Tiba di pantai, aku mencari tempat nyaman untuk duduk, bukan karena tumpuan kaki yang sudah kelelahan menentukan langkah, tapi alasannya mungkin hanya karena diam bisa jadi pilihan tepat. Itu saja. Aku suka mendengar suara ombak, kecuali jika hari sedang hujan, aku lebih suka mendengarkan hujan dibawah atap rumah. Riuh keduanya sama-sama bisa menyamarkan debar jantung yang sedang bergejolak. Ramai tidak karuan. Berantakan.

Sebuah buku menemaniku pagi itu. Sejenak Hening, karya Adjie Silarus. Ditengah membaca tiba-tiba aku teringat obrolan panjang dengan seorang teman disebuah kedai penjual nasi goreng malam sebelumnya. Orang datang dan pergi silih bergantian. Soal perasaan, masa depan juga tentang ketidakpastian.

Dia orang yang lucu, pikirku. Walau sedikit moody, tapi sekaligus juga orang yang tidak ambil pusing soal keadaan. Hal yang juga selalu aku coba tapi belum pernah mencetak nilai sempurna dalam kenyataan. Belakangan ini dia tidak bercerita apapun soal kesedihannya, dia tetap ceria, tetap lepas tertawa. Tapi, bagaimanapun, tanpa ada kata pun, setiap orang bisa melihat bahwa ada yang berbeda dan tidak biasa, ada yang dia sembunyikan. 

“Ya, mungkin memang sudah jalannya begini ya. Aku cuma bersyukur Tuhan membukakan segalanya sebelum terlambat”. Pernyataan itu tergelincir begitu saja, lantas ia tersenyum sambil kembali memakan sisa makanannya. Aku hanya memperbaiki posisi duduk dan menghela nafas panjang.


Pikiranku melayang lagi kepada percakapan dengan seorang teman dibawah jembatan beberapa bulan silam. Soal jalan hidup yang membawa dia jadi seorang pejuang di hiruk pikuknya Ibu Kota. Soal kesulitan yang ia hadapi selepas ayahnya tiada. Soal kehidupan yang kadang ia rasa tak adil. Soal perubahan. Soal ketidakpastian.

Lalu lamunanku buyar saat melihat sekelompok orang berenang hampir ke bagian tengah zona aman pantai untuk berenang. Seorang penjaga pantai lantas berlarian untuk memperingatkan agar mereka berhati-hati akan besarnya ombak tinggi mengingat angin yang juga cukup kencang. Aku hanya bisa tersenyum dan mencoba mencari jawaban. Aku juga kadang tertipu dengan rasa nyaman dan aman, aneka jenis ‘kebiasaan’, yang membuat aku lupa akan adanya ketidakpastian. Kalau mau diibaratkan mungkin seperti halnya orang-orang yang berenang itu.. Mereka mungkin lupa, bahwa orang yang pintar berenang sekalipun belum tentu tidak bisa tenggelam.

Tiap perubahan, sekecil apapun, kadang sedikit menyakitkan. Biasanya orang akan menyesuaikan diri dan menemukan zona aman dan nyamannya. Atau sebaliknya, orang tersebut akan merasa bahwa dirinya sebagai bagian dari keadaan nyaman itu. Semacam default system, aku rasa. Jika hal ini diusik, akan ada reaksi dari aksi tersebut, yaitu ketidaknyamanan, sebagian besar porsi pikiran, bahkan tidak jarang melibatkan perasaan, untuk menyeimbangkan kembali keadaan.

Ah, tapi biarlah.. aku akan membiarkan logika dan perasaan bertabrakan kali ini. aku tak ingin lagi mencemaskan dua hal berlawanan sekaligus. Melelahkan. Jadi, sudah tak usah diambil pusing. Bumi sudah cukup lelah dengan kesedihan yang ditampungnya sendirian, jangan lagi menambah bebannya.

Ada saat dimana kehidupan menjadi seperti komedi yang ironis memang. Akankah Januari merubah segalanya? Entah, kurang bijak rasanya jika aku mendahului waktu untuk memainkan perannya..



Sebuah Pantai, 07.40, Angin Kencang, Sendirian.
Semoga Januari-mu menyenangkan ya..