Definisi; Bahagia itu Sederhana [2]

Dalam beberapa minggu sekarang hingga 2 bulan kedepan nampaknya memang akan sangat disibukkan urusan pekerjaan yang tak berkesudahan. Engga, saya bukan tipikal orang yang gila kerja, tapi memang untuk kali ini entah kenapa sibuk kesana-kemarinya lebih semangat rasanya. Lebih excited. Mungkin hayati mulai lelah cuma duduk-duduk lucu dibalik layar komputer tiap harinya, haha ceilah!

Di kantor tempat saya bekerja, pun semua unit di seluruh Indonesia, semua pasti sedang disibukkan dengan urusan survey pencocokan basis data pelanggan soal TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan). Perihal pelanggan subsidi tepat sasaran. Dan untuk hal ini targetnya tak tanggung-tanggung jumlahnya. Bukan apa, kalau dipikir pakai logika dengan jumlah pegawai unit yang hanya belasan orang harus survey hampir 11 ribu pelanggan dalam waktu 40 hari rasanya nggak masuk akal. Baik, skip soal ini.


Jadi, hampir 2 minggu ini keluar masuk desa untuk mendata masyarakat setempat sesuai dengan data yang diberikan. Seru sih. Jarak dari desa ke desa lainnya cukup jauh. Biasanya kami berangkat jam 9 pagi dan baru sampai di desa tersebut sekitar jam 11 siang, yap hampir 2 jam. Daaaaan, nggak ada sinyal! Bahkan provider yang terkenal sinyal paling kuat seantero Indonesia ini pun nihil sinyalnya, -if you know what i mean.

Oya, balik ke topik awal. Selama bolak-balik ke desa ini banyak sekali rasanya pelajaran yang diambil. Melihat orang-orang yang mungkin 'tidak seberuntung' kita jadi membuat saya banyak-banyak bersyukur, banyak ngelus dada, banyak tepuk jidat kalau udah keseringan ngeluh ini itu. Awalnya nggak pernah terpikir dijaman yang serba modern ini, serba canggih, serba kekinian, justru ada orang-orang yang bahkan 'hidupnya' belum terbayangkan sebelumnya. 

Menyederhanakan definisi bahagia memang perlu ternyata, agar kita lebih banyak bersyukur daripada kufur~



To be continue. Mengantuk~

***

Mobil melaju lagi membelah kesunyian desa. Memang begini suasana pedesaan, sedari pagi orang-orang pergi ke hutan untuk bekerja, menjelang siang barulah ramai oleh anak-anak sepulang sekolah. Pun jika pun ramai pasti hanya segelintir ibu-ibu rumah tangga yang sedang dirayu tukang perabotan dengan iming-iming pembayaran harian.

Berbekal beberapa lembar kertas survey saya berjalan terpisah dengan seorang teman untuk mencari rumah sesuai dengan nama yang tertera diatasnya. Sesekali mencoba bertanya tetangga kanan kiri dengan 'bahasa Bangka' yang seadanya dan berjalan lagi. Di tengah jalan saya sesekali berhenti, memotret bunga cantik ataupun kumpulan anak sekolah yang berjalan riang tanpa alas kaki sepulang sekolah atau apapun yang menurut saya menarik dan tidak biasa. Hal yang membuat partner survey saya kerap bergeleng-geleng kepala jadinya. Ha!

Salah satu nama tidak juga bisa saya temukan, bahkan masyarakat sekitar mengaku baru mendengar nama itu. Sebut saja dia 'Nenek'. Setelah kocar-kacir berpindah dari satu rumah ke rumah lain saya tiba-tiba menyebutkan nama Ibu dan dia mengenalinya. Nama panggilan dan nama asli yang tertera dalam data kependudukan memang kerap berbeda ternyata.

Ancer-ancer jalan dan posisi rumah sudah saya gambarkan, dan dengan semangat saya berjalan. Sesampainya saya sempat terdiam sejenak. Menghela nafas panjang. Sebuah rumah kayu dihadapan saya dengan kondisi yang bisa saya bilang kurang layak untuk dihuni. Saya menghela nafas panjang lagi, lantas berjalan seraya mengetuk pintu serta mengucap salam.

'Assalammualaikum.. Assalammualaikum..'

Hening.

'Assalammualaikum.. Assalammualaikum..'

Kemudian seorang anak datang, anak yang setelahnya saya sadari mempunyai keterbatasan dalam berinteraksi dengan orang sekitarnya. Saya mencoba untuk berkomunikasi dengan segala cara untuk menanyakan apakah ada orang dirumah atau tidak, dia hanya tertawa dan mengangguk-angguk.

Baiklah.

Tak lama setelah itu seorang Ibu muncul dan bertanya dalam bahasa Bangka yang kurang lebih artinya 'Ada apa, nak?'. Saya mencoba menjelaskan dari A dan Z. Nenek pun menggeleng, menggunakan bahasa tubuh untuk mengatakan bahwa pendengarannya sudah kurang baik. Saya mengerti. Saya coba untuk sedikit menaikkan volume suara. Dia masih tidak juga paham maksud saya. Saya coba lagi. Akhirnya setelah paham Nenek menjelaskan bahwa surat KTP, Kartu Keluarga maupun surat apapun dibawa oleh anaknya yang tinggal di lain kota. Deg. Di usia Nenek yang sudah tidak lagi muda, ia hanya tinggal dengan anaknya yang memiliki disabilitas bahkan mungkin dalam fisiknya pun yang memiliki keterbatasan tertentu. Beliau juga sempat berceloteh panjang lebar soal urusan pribadi keluarganya.

Deg.

Tiba-tiba ada rasa sesak. Tiba-tiba teringat Almarhum nenek. Dan tiba-tiba air mata turun tanpa permisi. 

Ingin rasanya memeluk Nenek, tapi saya urungkan karena takut ia kebingungan. Sambil pamit saya cium tangannya. Sempat minta foto tapi ia menghindar. Malu, katanya. Saya tersenyum dan pergi seusai mengucap salam. Sudah lama sekali rasanya perasaan semacam itu hilang. Sulit untuk menggambarkannya memang. Perasaan senang sedih sekaligus haru ketika bertemu beliau. 



Semoga Allah senantiasa menjagamu. Sehat selalu ya, Nek! 



Bangka. Hujan setiap hari.
Akhir Januari. Awal Februari~~


***



Definisi; Bahagia itu Sederhana [4]
Terdampar di KFC dengan Paket ayam super besar, perkedel, ice cream dan spaghetti bolognaise.
Doyan apa laper, neng? :(