Sebuah Pesan Lama; Memahami Filosofi Leluhur Jawa..

Hmmm.. beberapa waktu yang lalu saya mendapat sebuah artikel dari seseorang, katakanlah ia seorang teman, tentang filosofi jawa yang dia kirimkan melalui email. Ha, lucu memang kalau ingat setiap cerita itu.. Dan hari ini dalam rangka membersihkan email dari pesan-pesan yang kiranya tidak lagi diperlukan, saya mendapati beberapa email, foto, dan chat history dengan dia. Betapapun kondisi kami saat ini, saya merasa senang sekali bisa mengenal dia, berdiskusi tentang banyak hal, berdebat dari hal penting sampai hal paling tidak penting sekalipun, tertawa sampai larut malam ..saya belajar banyak hal yang pasti. Sampai suatu malam dia berkata pada saya bahwa saya itu ibarat batu, keras kepala. Dan keesokan harinya dia mengirimkan artikel ini...

Memahami Filosofi Leluhur Jawa
Leluhur masyarakat Jawa memiliki beraneka filosofi yang jika dicermati memiliki makna yang begitu dalam. Tetapi, anehnya filosofi yang diberikan oleh para leluhur itu saat ini dinilai sebagai hal yang kuno dan ketinggalan jaman. Padahal, filosofi leluhur tersebut berlaku terus sepanjang hidup. Dibawah ini ada beberapa contoh filosofi dari para leluhur/nenek moyang masyarakat Jawa.
1) "Dadio banyu, ojo dadi watu" (Jadilah air, jangan jadi batu).
Kata-kata singkat yang penuh makna. Kelihatannya jika ditelaah memang manungso kang nduweni manunggaling roso itu harus tahu bagaimana caranya untuk dadi banyu.

Mengapa kita manusia ini harus bisa menjadi banyu (air)? Karena air itu bersifat menyejukkan. Ia menjadi kebutuhan orang banyak. Makhluk hidup yang diciptakan Gusti Allah pasti membutuhkan air. Nah, air ini memiliki zat yang tidak keras. Artinya, dengan bentuknya yang cair, maka ia terasa lembut jika sampai di kulit kita.

Berbeda dengan watu (batu). Batu memiliki zat yang keras. Batu pun juga dibutuhkan manusia untuk membangun rumah maupun apapun. Pertanyaannya, lebih utama manakah menjadi air atau menjadi batu? Kuat manakah air atau batu?

Orang yang berpikir awam akan menyatakan bahwa batu lebih kuat. Tetapi bagi orang yang memahami keberadaan kedua zat tersebut, maka ia akan menyatakan lebih kuat air. Mengapa lebih kuat air daripada batu? Jawabannya sederhana saja, Anda tidak bisa menusuk air dengan belati. Tetapi anda bisa memecah batu dengan palu.

Artinya, meski terlihat lemah, namun air memiliki kekuatan yang dahsyat. Tetes demi tetes air, akan mampu menghancurkan batu. Dari filosofi tersebut, kita bisa belajar bahwa hidup di dunia ini kita seharusnya lebih mengedepankan sifat lemah lembut bak air. Dunia ini penuh dengan permasalahan. Selesaikanlah segala permasalahan itu dengan meniru kelembutan dari air. Janganlah meniru kekerasan dari batu. Kalau Anda meniru kerasnya batu dalam menyelesaikan setiap permasalahan di dunia ini, maka masalah tersebut tentu akan menimbulkan permasalahan baru.
Dasar batu, itu yang selalu dia katakan saat kami beradu argumen. Dan ya, saya akui bahwa saya memang termasuk orang yang keras kepala, berpendirian kuat seperti baja, dan sangat jarang untuk mau mengalah ..terkecuali beberapa hal yang urgent tapinya. Lalu, dia bilang sifat itu memang tidak sepenuhnya jelek, hanya saja akan lebih baik jika saya merubahnya atau paling tidak mempergunakan sifat keras kepala itu untuk tujuan yang beralasan. Hmm.. terkadang saya memang menyadari bawasannya selama ini seringkali saya berselisih paham dengan beberapa orang yang pada akhirnya justru mengakibatkan konflik yang tidak berkesudahan.

Anda tidak bisa menusuk air dengan belati. Tetapi anda bisa memecah batu dengan palu

Kalimat ini yang membuat saya terdiam saat membaca artikel filosofi jawa diatas.. Anda tidak bisa menusuk air dengan belati.. Pemahaman saya cukup simple sebenarnya, yang saya pahami dari kalimat ini adalah bahwa air itu lembut tapi tidak bisa dihancurkan.. Dia bisa saja hilang menjadi uap, ditelan habis sinar matahari tapi pada akhirnya dia tetap akan menjadi hujan. Eh, betul ngga, sih?! Kalau tidak salah sih demikian hehe.

Lain halnya dengan batu, 'Anda bisa memecah batu dengan palu', untuk yang satu ini saya setuju.. tapi saya lebih setuju dengan kalimat ini 'Tetes demi tetes air, akan mampu menghancurkan batu'. Dua kalimat ini membuat saya tercengang sebentar, lalu dilanjutkan dengan anggukan kepala kecil sambil bergumam 'Oiya ya..!' Ibarat kata kita melihat bebatuan di dalam gua, stalaktit dan stalakmit, yang belakangan saat duduk di bangku SMA baru saya ketahui bahwa nyatanya bebatuan itu terbentuk akibat dari proses pelarutan air di daerah kapur yang berlangsung secara terus menerus. Air yang larut di daerah karst akan masuk kelubang-lubang (doline) kemudian turun ke gua dan menetes-netes dari atap gua ke dasar gua. Nah tetesan-tetesan air ini lama-lama berubah jadi batuan yang bentuknya runcing-runcing seperti tetesan air. Stalaktit adalah batu yang terbentuk di atap gua, bentuknya meruncing kebawah, sedangkan stalakmit adalah batu yang terbentuk di dasar gua bentuknya meruncing keatas.

Dan saya akui memang terkadang sifat batu saya ini menyusahkan diri saya sendiri. Ibarat senjata makan tuan, duh! Walaupun dalam beberapa situasi dan kondisi si batu ini juga bagus. Mungkin pelajaran yang bisa diambil dari filosofi tersebut adalah bagaimana seharusnya kita menggunakan sisi baik maupun buruk dari kedua elemen tersebut dalam kehidupan kita. Begitu, kan?! Seperti yang dikatakan sebelumnya, dunia ini penuh dengan permasalahan.. dan menurut saya ada kalanya kita dapat menyelesaikan segala permasalahan itu dengan meniru kelembutan dari air, namun ada kalanya pula kita harus meniru kekerasan dari batu. Oya, ada satu lagi hikmah yang saya ambil.. bahwa nyatanya persoalan dalam hidup bukan hanya soal memilih jawaban layaknya soal ujian nasional, tapi juga kita harus memilih jawaban dengan mempertimbangkan setiap kemungkinan benar atau salah berdasarkan hubungan sebab juga akibat..


2) "Sopo Sing Temen Bakal Tinemu", (Siapa yang sungguh-sungguh mencari, bakal menemukan yang dicari)
Filosofi lainnya adalah kata-kata "Sopo sing temen, bakal tinemu", Siapa yang sungguh-sungguh mencari, bakal menemukan yang dicari. Tampaknya filosofi tersebut sangat jelas. Kalau Anda berniat untuk mencari ilmu nyata ataupun ilmu sejati, maka carilah dengan sungguh-sungguh, maka Anda akan menemukannya.

Namun jika Anda berusaha hanya setengah-setengah, maka jangan kecewa jika nanti Anda tidak akan mendapatkan yang anda cari. Filosofi di atas tentu saja masih berlaku hingga saat ini.

Saya sering mendengar filosofi seperti ini, dari beberapa sumber, beberapa buku dan referensi dengan gaya bahasa serta penyampaian yang berbeda-beda tentunya, namun dalam satu arti.. Ya, seringkali saat saya membaca, entah itu buku motivasi, novel, cerita film sampai dengan kartun, riwayat hidup atau apapun itu, filosofi diatas itu menggambarkan keyakinan diri ..keberanian ..dan iman.

Seperti halnya makna yang ingin disampaikan dalam novel Ranah 3 Warna, novel kedua dari trilogi Negeri 5 Menara karangan A. Fuadi, dimana didalamnya digambarkan pesan berisi 'Man Jadda WaJadda' yang artinya siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil. Kedua pesan tersebut jelas beda, tapi mempunyai satu makna yang berkaitan erat..

Faktanya, dalam beberapa hal terkadang kita, saya sih khususnya, seringkali berputus asa saat suatu cita-cita atau sesuatu yang kita harapkan nampak begitu sulit untuk diraih. *Sigh* Buuuuut, keep a faith! Don't give up! Because you never know how close you're to your goals. \o/

"Sopo sing kelangan bakal diparingi, sopo sing nyolong bakal kelangan", (Siapa yang kehilangan bakal diberi, siapa yang mencuri bakal kehilangan).         
Filosofi itupun juga memiliki kesan yang sangat dalam pada kehidupan. Artinya, nenek moyang kita dulu sudah menekankan agar kita tidak nyolong (mencuri) karena siapapun yang mencuri ia bakal kehilangan sesuatu (bukannya malah untung). Contohnya, ada orang yang dicopet. Ia akan kehilangan uang yang dimilikinya di dalam dompetnya. Tetapi Gusti Allah akan menggantinya dengan memberikan gantinya pada orang yang kehilangan tersebut. Tetapi bagi orang yang mencopet dompet tersebut, sebenarnya ia untung karena mendapat dompet itu. Namun, ia bakal dibuat kehilangan oleh Gusti Allah, entah dalam bentuk apapun.

Dari filosofi tersebut, Nenek moyang kita sudah memberikan nasehat pada kita generasi penerus tentang keadilan Gusti Allah itu. Gusti Allah itu adalah hakim yang adil.
Dan filosofi terakhir, Sopo sing kelangan bakal diparingi, sopo sing nyolong bakal kelangan", Siapa yang kehilangan bakal diberi, siapa yang mencuri bakal kehilangan. Hih! Agak ngeri sih ya soal yang satu ini tapi benar-benar nyata berkesan bagi orang yang berpikir, menurut saya sih, gitu.

Yang saya yakini itu gini, saat kita kehilangan sesuatu, misalnya kehilangan dalam bentuk uang, barang, harta atau apapun, pasti Allah akan menggantinya dengan yang lebih lagi. Namun kita juga perlu instropeksi diri apabila nyatanya harta kita hilang, coba bercermin dahulu apakah ada 'hak-hak orang lain' yang belum kita keluarkan dalam bentuk zakat, mungkin. Hmm.. yang perlu kita lakukan mungkin tinggal pasrah dan yakin bahwa Allah akan mengganti hal tersebut dengan yang lebih baik.

Tapi lain halnya jika kita kehilangan.. mmmhhh pacar misalnya, coba diintropeksi mungkin dulu kita juga pernah mencuri pacar orang, mungkin loh, hahahaha. Tapi tetap yakin aja bahwa barangkali dia bukan yang terbaik bagi kita, dan pasti akan ada gantinya. Opo iki, gie gie... ck! Saya sendiri sih sejujurnya pernah mencuri, yang paling sering sih mencuri perhatian dan mencuri hati orang, haha. Udah ah, have no idea. Phaphaaaaaaaaayyyy!




Sumber :
dari seorang teman yang diambil sini
wikipedia