Sebuah Bangku, Taman dan Kita..
“Kamu sudah jatuh cinta padanya?” tanyaku parau suatu sore dimana langit mulai tak lagi berwarna biru,
melainkan orange ke merah-merahan.
“Hmm,” kamu menggumam. Lalu seperti biasanya, yang bisa kamu lakukan hanya menghela nafas.
Aku suka duduk berdua seperti ini denganmu, menikmati kedatangan
senjaku, menghabiskan waktu walau hanya untuk berdiam diri denganmu. Tapi
lagi-lagi pertanyaan itu yang selalu merusak suasana hari dan hatiku.
“Kamu masih jatuh cinta padaku?” tanyamu.
Kini giliranku yang
menghela nafas dan membisu dalam diam untuk beberapa waktu.
“Pulang-lah. Rumah kita sudah rusak, usang. Kini aku bukan
lagi rumahmu, May,” katamu pasrah. Hampir-hampir terlihat menyerah.
“……”
Aku terdiam, menunduk.
Kamu hanya dapat menatap lurus, seolah mencoba menangkap sebuah objek lurus puluhan
meter didepanmu, padahal tak ada apapun disana, tak ada yang kamu lihat, tak
ada apapun yang kamu pikirkan. Aku terjebak dalam ruang masa bernama nostalgia. Kamu terjebak
dalam ruang rasa tapi sudah tak ada lagi cinta. Kita tak bisa berkata-kata, seolah diam adalah
jawaban paling benar akan semua tanda tanya. Saat itu, kita hanya
tak ingin berdamai dengan realita.
Kedua tanganku saling
meremas saat tak tahu harus berbuat apa, kedua kakiku bergerak kedepan dan kebelakang
bergantian seolah saat itu kakiku yang berpikir bukan otakku. Ah, atau pada dasarnya
cintaku memang gila, bukan?
Kamu menghela nafas
lagi. Hanya saja kali ini lebih panjang, lebih dalam.
Jangan
pergi, bisik hatiku. Aku menatapmu. Menunggu barisan kata
yang siap melaju dari mulutmu, hasil musyawarah panjang yang akhirnya mencapai
kata mufakat antara isi hati dan akal sehat di kepalamu.
Kamu menarik tanganku,
lalu memelukku erat. Lebih erat dari pegangan pemanjat tebing kepada tali
tempat ia bergantung, dua kali lebih erat dari dari orang-orang yang sedang
lomba tarik tambang, tiga kali lebih erat dari lilitan ular saat meremukkan
tulang mangsa sebelum ia memakannya. Seperti itulah kira-kira eratnya
pelukanmu. Sakit dan menyakitkan.
‘Kamu baik-baik ya..,’
ucapmu melepas pelukan lalu memegang wajahku dengan kedua tanganmu.
Mata itu. Tatapan itu.
Aku tahu apa artinya, aku tahu apa maksudnya.. tapi aku tidak bisa
berkata-kata, tidak boleh berkata-kata.
Bip. Sebuah pesan singkat masuk.
Sayang, kamu dimana?
Istrimu.
Kamu masih bersama wanita itu?
Sebuah pesan masuk lagi..
Pulanglah. Anak kita sudah menunggu..
***
Beberapa tahun kemudian..
Kamu tahu? Tanpa aku sadari, sebenarnya kamu sudah menyelamatkan aku, menyelamatkan waktuku. Menyelamatkan masa depan
kita. Ah sungguh, aku bersyukur dan berterima kasih untuk itu.
Kita akan bahagia dengan cara kita masing-masing, kan?
Walaupun
setiap kata soal kita tak lagi bermakna apa-apa, walaupun tawa tak lagi sama
terdengarnya, walaupun rasa menjadi hambar rasanya.
Aku berjanji akan
bahagia, walaupun senja kita tak lagi sama.
xx,
agistianggi