Serasa Bermain Ular Tangga di Kampung Naga
Pagi itu, sekitar pukul 8 pagi saya terbangun dan mendapati diri sudah berada ditengah parkiran antara sebuah Bis Pariwisata dengan sebuah mobil Honda CRV berplat B. Wah, sudah sampai rupanya dan...
Assalammualaikum, Tasik Malaya!
Jadi, dalam rangka urusan pekerjaan orang tua, saya diajak untuk ikut mengunjungi beberapa tempat, ke Garut, Tasik Malaya, Ciamis dan perbatasan Pantai Pangandaran, Banjar ..dalam satu hari. Dari awal ajakan ini saya udah berpikir bahwa perjalanan kali ini pasti lebih dari sekedar melelahkan, tapi lumayan menyenangkan karena sekalian menghabiskan waktu dengan keluarga, terlebih acara kali ini diselingi wisata kuliner dan wisata ke beberapa tempat yang kelak akan kami datangi. Wohooooo!
Tugu Kujang Pusaka |
Jalanan yang curam dan berkelok membuat saya terpaksa bangun beberapa kali pagi itu, walaupun beberapa kali juga tertidur lagi, karena memang kami berangkat pukul 4 pagi dari rumah. Aliran sungai dan areal pesawahan menghijau yang berundak memanjakan mata sepanjang perjalanan. Sampai akhirnya dari jalanan tersebut mobil berbelok ke sebuah pelataran parkir dengan Tugu Kujang Pusaka yang terbangun kokoh disana.
Selamat datang di Kawasan Kampung Naga!
Dulu saya sering mendengar tentang tempat ini dari teman dan juga dari kedua orang tua saya yang sebelumnya pernah kemari. Kampung naga ini merupakan sebuah desa yang masih memegang teguh adat istiadat serta mempertahankan kebudayaan yang berasal dari para leluhurnya. Nggak cuma bentuk bangunan rumah, tetapi juga termasuk gaya hidup dan budaya-budaya lainnya.
Dari informasi yang saya dapatkan dari sang guide, kampung naga ini terletak berbatasan dengan sebuah hutan keramat, hutan yang didalamnya terdapat makam para leluhur masyarakat Kampung Naga. Lokasi kampungnya sendiri dapat ditempuh sekitar kurang lebih 30 menit dengan menuruni anak tangga sepanjang jalan. Lalu setelah berjalan menuruni tangga ini, kita akan melihat hamparan sawah serta aliran sungai Ciwulan yang katanya berasal dari Gunung Cikuray.
Ratusan anak tangga ini harus dilalui dulu untuk menuju ataupun keluar dari Kampung Naga, karena nggak ada akses lain yang bisa dilalui apalagi menggunakan kendaraan bermotor. Jadi, jalan kaki cuma satu-satunya cara untuk sampai ke desa ini. Wah nggak terbayang deh rasanya harus berjalan sekian jauh jika saya menjadi warga kampung ini. Namun setelah melewati perjalanan ini, sajian pemandangan alam bukti keagungan Tuhan terlihat luar biasa indahnya.
Selepas menuruni tangga, kemudian kita menyusuri jalan setapak dipinggir sungai disebelah kanan dan sengkedan sawah disebelah kanan. Hanya saja sayangnya air sungai saat saya kemari tidak jernih berhubung hujan yang terus mengguyur kota Garut dan sekitarnya ini.
Bentuk bangunan di Kampung Naga, baik itu rumah, mesjid, ataupun tempat lainnya hampir serupa. Semua bangunan terbuat dari kayu bambu dengan atap dilapisi jerami yang seragam. Pekarangan antara satu rumah dan rumah yang lain jaraknya sangat dekat, hmm kalau dikota sih bisa dikatakan seperti kawasan padat penduduk, tapi bedanya disini lokasinya sangat bersih dan rapih.
Kolam ikan yang menjadi ciri khas rumah-rumah di desa juga tidak terlepas dari Kampung Naga. Juga, kamar mandinya. Lalu ditengah desa, tepatnya disebrang mesjid, terdapat sebuah bangunan yang biasanya digunakan untuk pertemuan masyarakat desa. Oya, disana juga ada sebuah toko souvernir hasil kerajinan tangan masyarakat setempat yang bisa dijadikan sebagai oleh-oleh.
Setelah sempat sholat dhuha disana, saya, adik dan mama berjalan-jalan ke sekitaran sambil jajan es kelapa muda yang dihargai hanya 3ribu rupiah. Karena kebetulan saya orang sunda, saat disana saya nggak canggung menyapa dan bertanya pada penduduk sekitar dengan menggunakan bahasa sunda. Penduduk disana sangat ramah dan selalu melempar senyum saat kami berpapasan.
Setelah puas berjalan-jalan disana, kami pun bergegas untuk segera kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan. Kaki saya melangkah meninggalkan batas kampung naga, kembali menyusuri tepian sungai yang mengapit sisi timur kampung ini, memandangi luasnya persawahan hijau serta rimbunan pohon dari arah selatan untuk kembali bersiap menapaki ratusan anak tangga yang terjal menanjak. Dari jalanan desa, melihat panjangnya anak tangga yang harus saya lalui untuk kembali ke parkiran rasanya luar biasa berat. Oya, konon jumlah anak tangga ke kampung naga ini jumlahnya selalu berubah-ubah setiap kali ada yang mencoba menghitungnya. Nah, guide kami menanggapi hal ini dengan santai, dia hanya tersenyum. "Ah, si neng mah. Jangan dikaitkan dengan yang mistis-mistis atuh," ujarnya. "kan bisa aja karena anak tangganya sangat banyak terus medannya juga terjal, pengunjung yang menghitung kecapean ditengah jalan lalu nggak fokus lagi hitungannya".
Setelah sempat sholat dhuha disana, saya, adik dan mama berjalan-jalan ke sekitaran sambil jajan es kelapa muda yang dihargai hanya 3ribu rupiah. Karena kebetulan saya orang sunda, saat disana saya nggak canggung menyapa dan bertanya pada penduduk sekitar dengan menggunakan bahasa sunda. Penduduk disana sangat ramah dan selalu melempar senyum saat kami berpapasan.
Setelah puas berjalan-jalan disana, kami pun bergegas untuk segera kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan. Kaki saya melangkah meninggalkan batas kampung naga, kembali menyusuri tepian sungai yang mengapit sisi timur kampung ini, memandangi luasnya persawahan hijau serta rimbunan pohon dari arah selatan untuk kembali bersiap menapaki ratusan anak tangga yang terjal menanjak. Dari jalanan desa, melihat panjangnya anak tangga yang harus saya lalui untuk kembali ke parkiran rasanya luar biasa berat. Oya, konon jumlah anak tangga ke kampung naga ini jumlahnya selalu berubah-ubah setiap kali ada yang mencoba menghitungnya. Nah, guide kami menanggapi hal ini dengan santai, dia hanya tersenyum. "Ah, si neng mah. Jangan dikaitkan dengan yang mistis-mistis atuh," ujarnya. "kan bisa aja karena anak tangganya sangat banyak terus medannya juga terjal, pengunjung yang menghitung kecapean ditengah jalan lalu nggak fokus lagi hitungannya".
agistianggi