Be a Good Listener is Good




Belakangan ini saya sering mendengarkan orang lain bercerita soal masalahnya. Soal urusan pribadi mulai dari kisah-kisah percintaan, persahabatan, pekerjaan, karir, sampai urusan pelik soal keluarga dan kondisi ekonominya..

Setiap orang mempunyai masalahnya sendiri. Satu hikmah yang saya pelajari, lagi.

Saya sendiri bukan orang yang terbebas dari hantu bernama ‘masalah’ itu. Saya juga hidup dengan dihinggapi berbagai masalah. Dari masalah kecil sampai yang menurut saya sangat rumit. Soal hati, persepsi sampai terpikirkan urusan mati. Saya juga orang yang ‘bermasalah’. Tapi katanya masalah akan jadi masalah jika dipermasalahkan. Uhuk!





Ada teman yang datang hanya setiap kali punya masalah. Ada. Ada juga teman yang tiba-tiba bicara soal masalahnya ketika kami asik berbincang soal politik ringan di sebuah café atau rumah makan. Ada. Juga ada teman yang tiba-tiba datang saat sedih, bercerita dari A sampai Z sebari nangis sesegukan, terus saya cuma diam, tidak tau harus berbuat apa, tidak tau harus berkata apa.

Dari berbagai kisah dan cerita yang saya dengar, terlepas dari apa pun masalahnya, saya belajar sesuatu, belajar banyak hal. Belajar hal-hal yang tidak saya pelajari dari sekolah. Belajar bahwa terkadang orang bercerita itu hanya ingin didengar, tidak untuk diberi nasehat ataupun komentar. 


Hanya didengar. Itu saja. Lebih dari cukup.

Didengar.

Selanjutnya yang bisa saya lakukan adalah menepuk pundaknya, memeluknya erat atau menenangkannya. Mencari cara menenangkan dengan cara yang menyenangkan.

Sering, saat orang bercerita masalahnya saya hanya diam, walaupun lebih tak jarang juga rasanya mulut saya ini gatal ingin berkomentar.

Diam juga bukan berarti saya sepenuhnya mendengarkan sampai paham apalagi merasakan apa yang dia rasa. Bukan. Bohong kalau saya bilang tau apa rasanya jadi orang yang bercerita, karena saya tidak dalam posisi dia, saya tidak tau pasti apa rasanya. Diam lebih berarti ‘Hey, I’m here, hear you. So, take a deep breath then talk out loud. Scream, if you want it!’. Diam lebih berarti kalau saya disini ada untuk kamu, siap untuk jadi tempat sampah bagi masalah kamu.

Namun jika pada akhirnya saya berkomentar atau sok bijak memberi nasehat, itu berarti saya sedang sok bijaksana. Sok bersikap dewasa. Karena kenyataannya saat saya ada dalam posisi ‘orang yang bercerita’ alias orang bermasalah, saya juga hanya ingin didengar. Sering, saya bercerita hanya untuk mencari pembenaran, bukan mencari kebenaran. Egois ya? Iya. Memang.

Pada dasarnya adalah bahwa ketika kita berani bercerita masalah kita hanya kepada orang yang benar-benar kita percaya. Setidaknya saya begitu. Sama halnya jika saya bercerita hanya kepada orang-orang yang saya anggap bisa diam seribu bahasa, memangkas habis cerita saya ketika kami tidak lagi bersama-sama, yang bisa memaklumi juga terkadang memaafkan apapun masalah kita.

Lain halnya ketika saya bercerita tentang suatu masalah dengan orang yang sama sekali tidak paham atau tidak akan paham. Bercerita soal bagaimana sulitnya mencari uang sekedar untuk makan atau persoalan lainnya dengan orang yang sepanjang hidupnya hanya mengandalkan uang transferan orang tua. Berbicara soal mahalnya biaya pendidikan ketika kita sudah harus membiayai sekolah adih dengan orang yang masih mengandalkan biaya orang tua. Sulit, tidak sejalan. Tidak akan pernah sepaham.

Kelak kalau mendengarkan dapat jadi sebuah profesi, sepertinya saya mau jadi Good Listener, bukan Good Speaker.

Intinya, no matter how strong we are, how twist our day was, at the end of the day all we need is to be close to somebody. Somebody to talk to, somebody that you trust a lot, somebody you loveeeeeee.


Follow my blog with Bloglovin