Cara Menikmati Bandung yang Menyenangkan

Seorang temanku bercerita tentang caranya menikmati Bandung. Dia mengayuh sepedanya ke sebuah desa yang ia beri nama borderless village. Melewati jalan menanjak, bukit terjal dan juga lembah curam. Dia juga menyusuri pinggiran sungai hingga 26 kilometer jauhnya dari pusat kota.

Sama seperti sepedanya, dia juga orang yang sangat egois sekaligus seorang teman yang dibutuhkan dan terkadang jadi lawan paling menyebalkan. Teman yang paling setia mendengarkan juga yang paling sering aku kecewakan. Seorang pria kurus dengan seringai senyum yang kerap kali terlihat dipaksakan. Seorang teman dengan kategori mood paling berantakan sekaligus sering aku rindukan untuk sekedar berbincang dipojok perpustakaan. Seorang pria yang kini sedang bertarung dengan kerasnya Ibu Kota sambil mencari sebuah awan. Entah apa, entah bagaimana. Hanya awan dia bilang.



Dia dan sepedahnya sering bepergian.. Berjalan jauh dari beragam convenience store tempat anak muda nongkrong hanya agar terlihat gaya, tempat untuk melabel jidat dengan cat gaul dan kaum urban. Disana, di borderless village, dia menyaksikan orang-orang yang membawa tumpukan karung besar berisi padi di atas sepeda sambil berkeringat. Perjalanan yang tidak mudah memang tapi terbayar sudah, ceritanya.




Lalu disana lah ia berada.. duduk dibawah sebuah pohon yang hidup sebatangkara, dimanja angin yang mengalun satu nada. Dimana saat itu ia melihat gambaran lukisan sempurna sang Maha Pencipta, menikmati hasil karya paling indah dari kanvas pemilik dunia dan seluruh isinya.

Lalu aku mengangguk, mengiyakan. Memang ini lah salah satu cara menikmati Bandung yang benar dan menyenangkan. Bukan dengan memenuhi jalan dago di Minggu pagi hari dengan berkedok euforia Car Free Day. Kawasan yang seyogyanya dijadikan kawasan olah raga, alih-alih malah berubah makna menjadi kawasan pamer dan wisata mata. Wanita-wanita memamerkan dada dan pahanya, sedangkan para pria memamerkan kendaraan juga gadget canggih terbarunya di tengah jalan dago yang penuh sesak penjaja makanan dan kawanan sejenis mereka.

Dia bilang, sepanjang jalan outlet-outlet disesaki oleh anak gaul cerminan Nikita Willy, tak lupa dengan celana dalam yang dipakai diluar juga DSLR-nya. Suasana hedonisme dari Ibu Kota. Suasana yang selama ini kami hindari ternyata memang sudah merambat dan menancap cepat dalam euforia weekend ala Paris Van Java.

Dia bercerita ketika sedang berada ditengah kerumunan manusia yang hilir mudik berjalan, tertunduk pada layar pintar sambil berpegangan tangan.

Dia protes bahwa bukan begitu cara menikmati Kota Bandung yang menyenangkan, bukan itu caranya membuat sebuah liburan terasa berkesan. Bukan. Bukan dengan mengambil foto yang kemudian dengan instant di upload melalui Path atau media sosial lain setiap detiknya. Bukan dengan memotret makanan dan dengan teliti membubuhinya hagstag di Instagram, bukan juga dengan menandai semua tempat sebagai check in disebuah ‘kotak persegi empat’. Sekali lagi, bukan.

Ada sesuatu yang lebih menyenangkan. Ada sesuatu yang akan meninggalkan kesan. Menemukan perasaan bebas dan penasaran akan sebuah kota, menikmati jalan-jalan dipinggiran Braga sambil bercengkrama bersama keluarga atau orang yang bisa kita genggam erat tangannya. Menyantap jajanan kaki lima yang walaupun tidak mahal tapi lezat rasanya. Menikmati Lembang lengkap dengan ulen dan bandrek panasnya.

Itu cara menikmati Bandung yang menyenangkan. Bukan di balik layar seukuran empat inchi, bukan dengan yang lainnya. 

Katanya, liburan yang benar itu akan meninggalkan kenangan. Katanya, suatu saat nanti kalian akan menyesal menghabiskan waktu di kota paling indah hanya melalui sebuah layar. 

Dan aku sudah merasakannya..

Tapi sayangnya, aku lupa rasanya bisa menikmati Bandung dengan cara yang menyenangkan. Aku malas membongkar laci kenangan, aku tidak ingin apapun kecuali perasaan nyaman dan aman yang sama di kota yang konon disebut Kota Kembang.



Hey, U!