Kenangan dalam Kardus Tak Bertuan

Tulisan ini untuk ikut kompetisi @_PlotPoint: buku Catatan si Anak Magang Film “Cinta Dalam Kardus” yang tayang di bioskop mulai 13 Juni 2013.



 

Katanya, cinta terlihat ketika ada dua mata yang saling menatap lebih lama dari biasanya. Katanya, cinta terdengar ketika ada dua kata yang saling menyaut, mengalun dalam nada suara seirama. Katanya, cinta bisa tercipta dari tertukarnya canda juga diiringi tawa. Katanya, cinta teraba ketika dua tangan bergengaman erat tak ingin saling melepaskan. Katanya, cinta terbaca ketika ada dua kepala yang mengangguk seiya-sekata. Katanya, cinta lahir ketika ada satu komitmen yang disepakati bersama atas dua hati yang saling menguatkan, meyakini berada pada jalan yang sama.

Iya, setidaknya itu juga yang aku percaya perihal cinta. Atau paling tidak, sebelumnya..

Kisah kali ini sungguh tidak lebih memilukan dari kisah-kisah sebelumnya. Ini soal cinta yang lagi-lagi karam, tandas, hilang, lalu tenggelam. Soal cinta yang sibuk membuat hati kacau berantakan, seperti kapal yang jatuh dari ketinggian. Seperti kiri yang katanya ditinggal kanan, hanya bertepuk sebelah tangan. Seperti halnya kedatangan yang pasti diakhiri dengan sebuah kepergian. 





Setiap pertemuan, pasti ada perpisahan. Hello, lalu goodbye. Seperti itu. Satu hal yang aku tahu secara pasti akan selalu terjadi. Hukum alam. Tapi anehnya, betapapun seringnya perpisahan itu terjadi, betapapun sakitnya rasa yang ditinggalkan, hati tak jarang membuka lagi ruang untuk orang lain yang ingin berkunjung datang. Ibarat sebuah objek wisata, ada orang yang ingin mengunjunginya, namun setelah datang ia ingin pergi lagi karena tertarik dengan tempat lain, hati yang lain. Mungkin.

Tak ada yang salah dengan perpisahan, tak ada yang salah dengan kata ‘selamat tinggal’. Sungguh. Tak ada. Hanya saja, akan lebih baik ketika satu hati memutuskan untuk pergi, ia juga turut serta membawa semua keranjang berisi kenangan ..tak boleh ada yang tertinggal atau sengaja ditinggalkan. Tak boleh.

Saat kita ditinggalkan, atau bahkan meninggalkan. Kita harus sadar bahwa dalam setiap keputusan memiliki setidaknya ada satu alasan yang dibuat berlandaskan musyawarah atas perdebatan panjang antara logika dan perasaan. Hasil pemikiran yang akhirnya menjadi suatu pilihan. Kesedihan itu ada bukan untuk jadi alasan, ia hadir untuk mengingatkan kita bahwa sakitnya perpisahan membawa lagi suatu pelajaran. Pembelajaran.

Saat perpisahan terjadi, ambilah sebuah kardus, pilahlah setiap kenangan.. Masukkan setiap impian, angan juga harapan yang pernah dilontarkan sebagai sebuah rencana untuk masa depan, yang ternyata takkan pernah diwujudkan, takkan pernah menjadi kenyataan. Masukkan semua ke dalam kardus, jangan sampai ada yang tertinggal walau ada saja hal-hal yang sesungguhnya ingin kita tinggalkan. Biarkan cinta itu berdiam, dalam sebuah kardus yang kini tak lagi bertuan.

Selanjutnya yang harus dilakukan adalah memberikan kardus berisi kenangan itu sambil mengucap ‘selamat tinggal’ di ujung jalan. Atau meninggalkannya dalam tumpukan sampah dan berjalanlah tanpa menoleh kebelakang. Kemudian, tengoklah persimpangan jalan atau kembalilah ke rumah, menunggu di ruang tamu yang mungkin sudah usang, untuk tahu siapa tamu yang selanjutnya datang..

Perpisahan bukan akhir, tapi mungkin bisa jadi suatu awal sebuah perjalanan. Sebuah perjalanan ditemani penantian. Penantian dengan siapa hati yang pernah hampir hancur berantakan ini kelak akan ditambatkan. Penantian bersama siapa kelak kehidupan ini akan dijalankan. Penantian yang dipenuhi dengan berbagai kemungkinan.

Lakukan seperti apa yang semestinya, berjalan tanpa menoleh kebelakang..

…biarkan cinta dalam kardus itu kini tak bertuan. 




 "Sometimes someone has to walk out of your life, for someone better to walk in". - Pudgie Eugene

Catatan : Oya, bagiku kenangan, mimpi dan harapan untuk masa depan saat bersama mantan pacar juga berupa pemberian. Barang dalam bentuk angan-angan..