[Book Review] Milana, Karya Bernard Batubara
Judul Buku: Milana
Pengarang: Bernard Batubara
Editor: Siska Yuanita
Ilustrasi Sampul dan Isi: Lala Bohang
Tebal: 192 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, April 2013
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Karena penasaran sering sekali baca review kumcer ini, saya akhirnya memesan lewat @bukabuku. Dan ya, saya terkesan sepanjang perjalanan membaca cerpen-cerpen karya Bara yang satu ini. Meskipun nggak semua cerpen dalam kumcer Milana: Perempuan Yang Menunggu Senja ini bermuatan kesedihan, tapi banyak kesedihan yang bisa dikumpulkan selama pembacaan dengan gaya bercerita yang berbeda-beda. Cinta adalah faktor penyebab kesedihan terbesar, tapi bukan satu-satunya.
Dalam cerpen berjudul 'Milana' yang kemudian namanya menjadi judul buku ini. Cerpen ini sebenarnya sudah pernah saya baca di blognya bara dengan judul 'Senja di Jembrana' tapi katanya untuk keperluan buku ini judul diganti. Bara menceritakan 2 tokoh dengan apik, pecinta senja melalui lukisan dan fotografi. Milana selalu menaiki feri yang menyebrangi Selat Bali, dari Banyuwangi menuju Jembrana hanya untuk memindahkan senja ke atas kanvas untuk menunggu seseorang, Are, seorang travel phographer yang menyukai senja dan menjebaknya dalam lensa kamera. Tapi dua tahun telah berlalu, hanya Milana sendiri yang merekam senja dan menunggu sambil meyakinkan dirinya bahwa Are pasti akan datang, karena Are sudah tiada.. "Menunggu adalah perkara melebarkan kesabaran dan berhadap-hadapan dengan risiko ketidakhadiran. Mendedikasikan setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun untuk menyambut sebuah kedatangan kembali. Untuk mendengar sebuah "Halo, ini aku, sudah pulang." (hlm. 175). Milana adalah sebuah cerpen yang indah, melenakan, dan membuat sedih.
Beberapa cerpen, entah sengaja atau tidak, mengandung unsur mistis yang menurut saya tidak terlihat dipaksakan. Mengalir, dan itu susah sekali saat saya coba. Cerpen Tikungan, Jung dan Cermin cukup membuat yang membaca penasaran dan menunggu-nunggu akhir dari misteri cerita dibaliknya. Tikungan mengisahkan tentang tikungan misterius di sebuah kompleks pemukiman. Tikungan itu banyak mendatangkan masalah dan menyebabkan sejumlah kecelakaan. Apa sebenarnya yang salah dengan tikungan itu? Setelah kecemasan demi kecemasan yang melanda penduduk kompleks pemukiman, kita akan dibuat tersenyum oleh pengungkapan identitas sumber masalah itu.
Jung dalam cerpen yang memakai namanya sebagai judul adalah gadis yang sudah buta sejak dilahirkan. Tapi meskipun buta, ia bisa melihat kematian, termasuk kematian pada seorang pemuda yang memotretnya. Tanpa diketahui Jung, dengan cara yang sama, pemuda itu bisa melihat kematiannya juga. Mengapa? Kita diajak menengok ke masa lalu mereka yang menyedihkan untuk mendapatkan jawaban.
Pintu yang Tak Terkunci juga menceritakan kisah yang cukup mengangetkan. Suatu malam, pintu kamar narator cerpen Pintu Yang Tak Terkunci -dikembangkan dari puisi Robert Frost yang berjudul The Lockless Door- diketuk. Ketukan itu berulang dan lambat laun menciptakan ketakutan dalam dirinya. Ia pun bergerak menjauh dari pintu hingga ke jendela kamarnya. Siapa yang sedang mengetuk pintu kamarnya? Pertanyaan itu baru akan terjawab setelah ia mempersilakan si pengetuk pintu masuk, karena pintu kamarnya selama ini memang tidak pernah dikunci. Kamu mungkin akan terkejut kemudian tertawa begitu si pengetuk pintu memperkenalkan diri.
Kalau pernah nonton kartun mungkin kita ingat ada sebuah cermin yang mampu mempertontonkan pantulan yang membuat kita tampak jauh lebih cantik atau tampan dari wujud asli? Cerpen ini juga berkisah tentang sebuah cermin. Wono adalah seorang laki-laki berwajah buruk rupa yang memiliki cermin itu sebagai warisan dari ayahnya yang sudah meninggal dunia. Wono mengagumi Maila tapi selalu minder jika berhadapan dengan perempuan tercantik di desanya itu. Meskipun sudah cantik tanpa membutuhkan cermin untuk penegasan, Maila tergoda untuk melihat wajahnya tampak jauh lebih cantik di depan cermin. Ia pun mengadakan sayembara. Bagi siapa yang bisa membawakan cermin yang diinginkannya, apa pun akan diberikannya pada orang itu. Maka Wono menggali cermin yang telah dikuburkannya karena ia anggap kutukan dan membawanya kepada Maila. Cermin adalah sebuah kisah yang diracik dari elemen dongeng, komedi, dan tragedi. Cerpen ini pernah dimuat diharian Tempo katanya.
Beberapa cerita lain seperti 'Lelaki Berpayung dan Gadis yang Mencintai Hujan, Goa Maria, Malaikat, Fa, Hanya Empat Putaran, The Beautiful Stranger, Semangkuk Bubur Cikini dan Sepotong Red Velvet juga mengisahkan cerita cinta dengan latar dan pembawaan yang berbeda-beda. Kesedihan memang warna yang dominan disajikan dalam kumcer ini. Tapi tidak semua kesedihan yang ada bersifat kekal dan menyesakkan. Terkadang diawali dengan kesedihan, para karakter dalam beberapa cerpen akan menjemput kebahagiaan.
Semua cerpennya masih menceritakan tentang cinta, keluarga, dan problematika kehidupan yang mencetuskan kesedihan yang sudah kerap diangkat dalam banyak karya fiksi. Tapi entah bagaimanapun Bernard Batubara memiliki teknik penyajian dengan kekuatan merangkai kalimat dan pemilihan diksi yang mahir dan anggun. Semua cerpen dihadirkan dalam serangkaian kalimat indah, puitis tapi tidak hiperbolis. Alhasil, meskipun hampir semua tema yang diusungnya tergolong mainstream, dengan mudah bisa dinafikan oleh kemampuannya berkisah.
Jika ditanya memilih soal cerpen mana yang paling mengesankan dalam kumcer ini saya akan memilih Milana dan Cermin. Cerpen pertama sangat mengharukan dan indah, sedangkan yang kedua, selain sangat orisinil, merupakan dongeng modern dengan ending yang membuat saya tercekat.
Editor: Siska Yuanita
Ilustrasi Sampul dan Isi: Lala Bohang
Tebal: 192 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, April 2013
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Karena penasaran sering sekali baca review kumcer ini, saya akhirnya memesan lewat @bukabuku. Dan ya, saya terkesan sepanjang perjalanan membaca cerpen-cerpen karya Bara yang satu ini. Meskipun nggak semua cerpen dalam kumcer Milana: Perempuan Yang Menunggu Senja ini bermuatan kesedihan, tapi banyak kesedihan yang bisa dikumpulkan selama pembacaan dengan gaya bercerita yang berbeda-beda. Cinta adalah faktor penyebab kesedihan terbesar, tapi bukan satu-satunya.
Dalam cerpen berjudul 'Milana' yang kemudian namanya menjadi judul buku ini. Cerpen ini sebenarnya sudah pernah saya baca di blognya bara dengan judul 'Senja di Jembrana' tapi katanya untuk keperluan buku ini judul diganti. Bara menceritakan 2 tokoh dengan apik, pecinta senja melalui lukisan dan fotografi. Milana selalu menaiki feri yang menyebrangi Selat Bali, dari Banyuwangi menuju Jembrana hanya untuk memindahkan senja ke atas kanvas untuk menunggu seseorang, Are, seorang travel phographer yang menyukai senja dan menjebaknya dalam lensa kamera. Tapi dua tahun telah berlalu, hanya Milana sendiri yang merekam senja dan menunggu sambil meyakinkan dirinya bahwa Are pasti akan datang, karena Are sudah tiada.. "Menunggu adalah perkara melebarkan kesabaran dan berhadap-hadapan dengan risiko ketidakhadiran. Mendedikasikan setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun untuk menyambut sebuah kedatangan kembali. Untuk mendengar sebuah "Halo, ini aku, sudah pulang." (hlm. 175). Milana adalah sebuah cerpen yang indah, melenakan, dan membuat sedih.
Beberapa cerpen, entah sengaja atau tidak, mengandung unsur mistis yang menurut saya tidak terlihat dipaksakan. Mengalir, dan itu susah sekali saat saya coba. Cerpen Tikungan, Jung dan Cermin cukup membuat yang membaca penasaran dan menunggu-nunggu akhir dari misteri cerita dibaliknya. Tikungan mengisahkan tentang tikungan misterius di sebuah kompleks pemukiman. Tikungan itu banyak mendatangkan masalah dan menyebabkan sejumlah kecelakaan. Apa sebenarnya yang salah dengan tikungan itu? Setelah kecemasan demi kecemasan yang melanda penduduk kompleks pemukiman, kita akan dibuat tersenyum oleh pengungkapan identitas sumber masalah itu.
Jung dalam cerpen yang memakai namanya sebagai judul adalah gadis yang sudah buta sejak dilahirkan. Tapi meskipun buta, ia bisa melihat kematian, termasuk kematian pada seorang pemuda yang memotretnya. Tanpa diketahui Jung, dengan cara yang sama, pemuda itu bisa melihat kematiannya juga. Mengapa? Kita diajak menengok ke masa lalu mereka yang menyedihkan untuk mendapatkan jawaban.
Pintu yang Tak Terkunci juga menceritakan kisah yang cukup mengangetkan. Suatu malam, pintu kamar narator cerpen Pintu Yang Tak Terkunci -dikembangkan dari puisi Robert Frost yang berjudul The Lockless Door- diketuk. Ketukan itu berulang dan lambat laun menciptakan ketakutan dalam dirinya. Ia pun bergerak menjauh dari pintu hingga ke jendela kamarnya. Siapa yang sedang mengetuk pintu kamarnya? Pertanyaan itu baru akan terjawab setelah ia mempersilakan si pengetuk pintu masuk, karena pintu kamarnya selama ini memang tidak pernah dikunci. Kamu mungkin akan terkejut kemudian tertawa begitu si pengetuk pintu memperkenalkan diri.
Kalau pernah nonton kartun mungkin kita ingat ada sebuah cermin yang mampu mempertontonkan pantulan yang membuat kita tampak jauh lebih cantik atau tampan dari wujud asli? Cerpen ini juga berkisah tentang sebuah cermin. Wono adalah seorang laki-laki berwajah buruk rupa yang memiliki cermin itu sebagai warisan dari ayahnya yang sudah meninggal dunia. Wono mengagumi Maila tapi selalu minder jika berhadapan dengan perempuan tercantik di desanya itu. Meskipun sudah cantik tanpa membutuhkan cermin untuk penegasan, Maila tergoda untuk melihat wajahnya tampak jauh lebih cantik di depan cermin. Ia pun mengadakan sayembara. Bagi siapa yang bisa membawakan cermin yang diinginkannya, apa pun akan diberikannya pada orang itu. Maka Wono menggali cermin yang telah dikuburkannya karena ia anggap kutukan dan membawanya kepada Maila. Cermin adalah sebuah kisah yang diracik dari elemen dongeng, komedi, dan tragedi. Cerpen ini pernah dimuat diharian Tempo katanya.
Beberapa cerita lain seperti 'Lelaki Berpayung dan Gadis yang Mencintai Hujan, Goa Maria, Malaikat, Fa, Hanya Empat Putaran, The Beautiful Stranger, Semangkuk Bubur Cikini dan Sepotong Red Velvet juga mengisahkan cerita cinta dengan latar dan pembawaan yang berbeda-beda. Kesedihan memang warna yang dominan disajikan dalam kumcer ini. Tapi tidak semua kesedihan yang ada bersifat kekal dan menyesakkan. Terkadang diawali dengan kesedihan, para karakter dalam beberapa cerpen akan menjemput kebahagiaan.
Semua cerpennya masih menceritakan tentang cinta, keluarga, dan problematika kehidupan yang mencetuskan kesedihan yang sudah kerap diangkat dalam banyak karya fiksi. Tapi entah bagaimanapun Bernard Batubara memiliki teknik penyajian dengan kekuatan merangkai kalimat dan pemilihan diksi yang mahir dan anggun. Semua cerpen dihadirkan dalam serangkaian kalimat indah, puitis tapi tidak hiperbolis. Alhasil, meskipun hampir semua tema yang diusungnya tergolong mainstream, dengan mudah bisa dinafikan oleh kemampuannya berkisah.
Jika ditanya memilih soal cerpen mana yang paling mengesankan dalam kumcer ini saya akan memilih Milana dan Cermin. Cerpen pertama sangat mengharukan dan indah, sedangkan yang kedua, selain sangat orisinil, merupakan dongeng modern dengan ending yang membuat saya tercekat.