Menyusuri Hutan Menuju Cagar Alam Rawa Danau
Berangkat dari rasa penasaran selama ini, kami akhirnya memutuskan untuk mencari lokasi Cagar Alam Rawa Danau. Sebelumnya, omDJ dan seorang teman, sempat beberapa kali mencoba menyusuri jalanan kawasan menggunakan sepeda untuk mencari tempat ini, tapi hasilnya masih nihil. Dari situlah, berbekal informasi minim dari blog maupun website wisata Banten ditambah sedikit modal nekat tanpa berbekal GPS, berangkatlah kami menuju kawasan Cinangka, Anyer sebagai salah satu jalan alternatif kesana.
Walaupun hari libur nyatanya pengujung Pantai Anyer relatif cukup sepi. Hanya saja memang terjadi kemacetan di salah satu titik ruas jalan Anyer berhubung sedang dilakukannya perbaikan jalan dan jembatan. Dari kawasan Anyer, daerah Cinangka berada disebelah kiri jalan, atau jika dari arah Pantai Carita sekitar beberapa puluh kilometer disebelah kanan jalan.
Begitu masuk daerah Cinangka, pemandangan perkebunan juga pesawahan siap memanjakan mata setiap yang melewatinya. Kondisi jalanan yang cukup baik juga mendukung perjalanan siang hari itu walaupun rutenya sedikit menanjak dan berliku. Tak lama kami tiba di Pasar Padarincang. Berdasarkan petunjuk dari salah seorang teman, dari sana kami menuju sebuah jembatan besar dimana nantinya ada semacam gapura yang menunjukkan kawasan Rawa Danau.
Setelah lama menyusuri jalan, akhirnya kami bertanya pada warga sekitar mengenai lokasinya, dan mereka bilang kami sudah lumayan jauh melewatinya. Maka setelah berputar arah, perlahan kami mengamati satu persatu jalan sesuai dengan petunjuk warga barusan. 'Disebelah kanan jalan setelah jembatan, ada pangkalan ojek, dari sana lurus terus mengikuti jalan', katanya. Sampai akhirnya kami menemukan jalan itu, desa Citasuk namanya, kalau tidak salah ingat. Namun sayang, kondisi jalan memasuki desa ini cukup memprihatinkan, setidaknya bagi kami yang tidak menggunakan motor cross.
Sekitar 15 menit menyusuri jalanan desa, kami sampai diujung jalan dekat pematang sawah. Pemandangan hamparan sawah, buruh-burung berterbangan juga para ibu-ibu tani yang hendak pulang ke rumah juga jadi hiburan tersendiri. Disana jalanan tak lagi bersahabat dengan motor biasa. Seorang ibu tani malah mengatakan bahwa jalanan 'ledok' (bahasa sunda) yang saya tahu artinya becek berlumpur, cukup berbahaya bagi motor jika hendak melaluinya. Tapi karena kepalang tanggung, akhirnya kami nekat melewati pematang sawah itu menggunakan motor sampai pemukiman warga sebrang sawah. Barulah disana kami memarkirkan kendaraan.
Walaupun hari libur nyatanya pengujung Pantai Anyer relatif cukup sepi. Hanya saja memang terjadi kemacetan di salah satu titik ruas jalan Anyer berhubung sedang dilakukannya perbaikan jalan dan jembatan. Dari kawasan Anyer, daerah Cinangka berada disebelah kiri jalan, atau jika dari arah Pantai Carita sekitar beberapa puluh kilometer disebelah kanan jalan.
Begitu masuk daerah Cinangka, pemandangan perkebunan juga pesawahan siap memanjakan mata setiap yang melewatinya. Kondisi jalanan yang cukup baik juga mendukung perjalanan siang hari itu walaupun rutenya sedikit menanjak dan berliku. Tak lama kami tiba di Pasar Padarincang. Berdasarkan petunjuk dari salah seorang teman, dari sana kami menuju sebuah jembatan besar dimana nantinya ada semacam gapura yang menunjukkan kawasan Rawa Danau.
Setelah lama menyusuri jalan, akhirnya kami bertanya pada warga sekitar mengenai lokasinya, dan mereka bilang kami sudah lumayan jauh melewatinya. Maka setelah berputar arah, perlahan kami mengamati satu persatu jalan sesuai dengan petunjuk warga barusan. 'Disebelah kanan jalan setelah jembatan, ada pangkalan ojek, dari sana lurus terus mengikuti jalan', katanya. Sampai akhirnya kami menemukan jalan itu, desa Citasuk namanya, kalau tidak salah ingat. Namun sayang, kondisi jalan memasuki desa ini cukup memprihatinkan, setidaknya bagi kami yang tidak menggunakan motor cross.
Sekitar 15 menit menyusuri jalanan desa, kami sampai diujung jalan dekat pematang sawah. Pemandangan hamparan sawah, buruh-burung berterbangan juga para ibu-ibu tani yang hendak pulang ke rumah juga jadi hiburan tersendiri. Disana jalanan tak lagi bersahabat dengan motor biasa. Seorang ibu tani malah mengatakan bahwa jalanan 'ledok' (bahasa sunda) yang saya tahu artinya becek berlumpur, cukup berbahaya bagi motor jika hendak melaluinya. Tapi karena kepalang tanggung, akhirnya kami nekat melewati pematang sawah itu menggunakan motor sampai pemukiman warga sebrang sawah. Barulah disana kami memarkirkan kendaraan.
Dari pemukiman warga kami menyusuri hutan. Dari awal informasi Bu Tani saat hendak melewati pematang sawah memang disebutkan kalau kami hendak ke Rawa Danau harus menggunakan perahu yang dapat disewa ke warga sekitar. Berhubung keterbatasan waktu juga personil akhirnya kami hanya berniat untuk melihat-lihat lokasi saja.
Pepohonan yang menjulang juga ilalang-ilalang tinggi sempat membuat pikiran kami membayangkan sesuatu yang dapat dikatakan sedikit menyeramkan. Ya, bagaimana tidak, sepanjang perjalanan kami hanya pertemu satu dua orang petani yang hendak pulang. Pemandangan hutan tergantikan dengan aliran sungai yang kami temukan. Jika dulu di Pantai Sawarna jembatan gantung saya katakan mengerikan, menurut saya ini juga tidak kalah menakutkan. Bayangkan saja bambu-bambu ini hanya ditumpuk, lalu kemudian diikatkan dengan tali rafia. Tapi kemudian, untunglah ada seorang petani yang mengatakan kami salah jalan. Aha! Seharusnya kami tak perlu menyebrang jembatan, hanya menyusuri sepanjang jalan sungai saja.
Rawa Danau ini memang merupakan cagar alam yang dilindungi oleh Pemerintah Kota Serang. Dari informasi yang saya dapatkan, katanya kawasan ini merupakan salah satu ekosistem rawa tropis yang mulai langka di dunia. Lebih dari pada itu, Rawa Danau ini juga mempunyai peranan penting sebagai sumber air bagi masyarakat sekitarnya.
Air sungai yang berwarna kecoklatan karena mulai memasuki musim penghujan membuat kami rasanya tak berselera untuk kembali ke desa dan mencari perahu. Sekedar membunuh rasa penasaran saja, kami hanya berjalan menyusuri sungai sambil bercerita kesana kemari. Ditengah perjalanan itu, kami bertemu dua orang bapak sedang memancing. Setelah mengobrol sebentar mereka bilang bahwa jaraknya paling hanya sekitar 1 KM dari jarak kami berjalan. Baiklah, rasanya memang ada yang kurang jika tak menyelesaikannya.
Awan siang hari itu mulai mendung, udara sekitar rawa mulai dingin, pertanda hujan akan segera datang. Disamping petir yang mulai berkelakar diantara cerita dan tawa, kami sudah bertekad kelak sekitar pukul 15.30 kami harus segera berputar arah untuk pulang. Mengingat saat itu kami berada ditengah hutan yang jelas jika menjelang malam akan sangat menyeramkan tanpa penerangan. Tak lama dari niatan itu terucap, rintik hujan mulai terlihat di atas riak air sungai. Rasa panik mulai menyerang. Bukan apa, hanya saja disana sama sekali tak ada tempat berteduh. Ah, sial!
Awan siang hari itu mulai mendung, udara sekitar rawa mulai dingin, pertanda hujan akan segera datang. Disamping petir yang mulai berkelakar diantara cerita dan tawa, kami sudah bertekad kelak sekitar pukul 15.30 kami harus segera berputar arah untuk pulang. Mengingat saat itu kami berada ditengah hutan yang jelas jika menjelang malam akan sangat menyeramkan tanpa penerangan. Tak lama dari niatan itu terucap, rintik hujan mulai terlihat di atas riak air sungai. Rasa panik mulai menyerang. Bukan apa, hanya saja disana sama sekali tak ada tempat berteduh. Ah, sial!
Awalnya sebuah daun berukuran cukup lebar menjadi penutup kepala setidaknya sebagai penghalang dari siraman air hujan yang makin deras. Tapi angin juga tak bersahabat, ia bertiup kencang dan membuat pakaian kami basah sekujur badan. Karena nampaknya hujan akan berhenti dalam waktu yang cukup lama, kami mencari-cari apapun yang bisa menjadi pelindung. Sebuah terpal menjadi jawaban atas apa yang kami cari, terpal itu kami sanggah dengan kayu agar dapat menutupi serangan hujan yang kian membesar, yang diakhir perjalanan kemudian patut dipertanyakan sebagai pertolongan atau kesialan.
Setelah hujan mereda, kami melanjutkan perjalanan, sudah terlanjur basah jadi rasanya sayang sekali jika perjalanan ini dihentikan tanpa alasan. Semakin menyusuri sungai, ilalang-ilalang ini semakin tidak karuan, semakin tinggi dan sedikit menakutkan. Beberapa kali saya hampir menginjak kepiting disana, lalu pikiran saya melayang pada aneka binatang lainnya kalajengkin, ular dan lain sebagainya. Oya, ada satu lagi yang seru, saat kami berjalan banyak monyet-monyet bergelantungan di pepohonan. Jumlahnya banyak mungkin bisa jadi lebih dari 10 ekor.
Berjalan dan terus berjalan. Setelah merasa putus asa karena entah dimana ujung rawanya, kami berniat untuk segera berputar arah, lalu ditengah rasa bimbang 3 orang nelayan berjalan dari arah berlawanan. Mereka bertanya kami hendak kemana, hingga akhirnya menawarkan perahunya untuk digunakan ditepian sungai. Setengah bahagia, atau terlalu berharap, kami melanjutkan perjalanan setelah melihat sebuah pondok bambu sekitar 10 meter didepan siapa tahu ada nelayan yang bisa membantu kami meneruskan perjalanan atau mengantar pulang. Ya, nyatanya disana memang ada perahu dan rumah bambu, tapi tak ada dayung maupun nelayan seperti yang kami bayangkan.
Hari semakin gelap, entah karena memang selepas hujan atau memang menjelang petang, akhirnya kami berjalan ke arah perkampungan. Perjalanan pulang memang kerap dirasa dua kali lebih cepat daripada keberangkatan, atau mungkin hanya perasaan saya saja..
Sempat beberapa kali ragu memilih jalan yang benar menuju perkampungan, beberapa kali atau bahkan sering kali kaki kami tergelincir saat berjalan diatas kondisi tanah sehabis hujan. Dan karena itu akhirnya saya melepas sepatu ditengah perjalanan sejak turun hujan. Saking ingin segera pulang, kaki saya yang sakit pun saya abaikan agar segera sampai tujuan.
Akhirnya kami sampai dipemukiman warga dimana kami memarkirkan kendaraan. Tadinya hendak langsung melewati sawah tanpa membersihkan kaki dan tangan yang kotor karena lumpur, tapi rasanya risih sekali walaupun kelak melewati sawah akan kotor lagi. Disana ada sebuah sumur, yang tentu mengharuskan kami menimba jika ingin menggunakan airnya. Menimba beberapa kali, mencoba membersihkan kotoran-kotoran di kaki, tiba-tiba saya kaget 'Ah, lintah!'
Dan benar saja, di kaki kami terdapat begitu banyak lintah. Bukan kami sebetulnya, saya hanya ada 5 hisapan lintah, sedang omDJ? 17! Karena panik, kami menarik satu persatu lintah itu dari kaki dan alhasil bagian kaki yang dihisap mengeluarkan darah yang terus mengalir. Uh. Belum selesai sampai disitu ternyata. Setelah pulang melewati perkampungan, diperjalanan kami mampir di satu pom bensin untuk memastikan badan kami bebas dari lintah. Dan saya menemukan satu lagi dikaki.
Disebuah tempat makan, saat perjalanan pulang, kami tiba-tiba ingat kalau saat meneduh hujan saya sempat melihat ada sejenis cacing di lengan baju.. dan kemudian baru kami sadari itu adalah si lintah. Kalau perhatikan gambar kaki diatas, ada sejenis cacing berukuran kecil panjang, dan sebelahnya adalah foto lintah yang saya temukan dipunggung saat sedang main laptop, entah dari kapan ia ada disana. Padahal sebelum dan sesudah mandi sudah saya pastikan nggak ada lintah disemua tempat. Hiks! Mamaaaaa~
Ini bukan akhir, justru awal karena kami kian penasaran dengan pemandangan menyusuri rawa dengan perahu. Terlebih ketika beberapa waktu lalu mencoba mencari informasi tentang tempat ini dan kemudian mendapat satu video kunjungan ke rawa danau. Ah, excited!
Jadi, jalan-jalan kali ini walaupun agak ekstrim dan menyeramkan tapi lebih dari sekedar menyenangkan! Hap hap happpppppy!
Ini bukan akhir, justru awal karena kami kian penasaran dengan pemandangan menyusuri rawa dengan perahu. Terlebih ketika beberapa waktu lalu mencoba mencari informasi tentang tempat ini dan kemudian mendapat satu video kunjungan ke rawa danau. Ah, excited!
Jadi, jalan-jalan kali ini walaupun agak ekstrim dan menyeramkan tapi lebih dari sekedar menyenangkan! Hap hap happpppppy!