SEPOTONG KUE
Suatu Petang, Bandara Soekarno-Hatta, 2016. Saya termenung sejenak saat terbangun menatap jendela. Suara khas Pramugari terdengar sedang memberikan informasi perihal cuaca diluar sana. Beberapa kali saya mengerjap, sembari mengumpulkan nyawa, lantas berdoa agar kami mendarat dengan sempurna. Perjalanan udara Bangka - Jakarta terhitung tidak lama, tapi entah kenapa saya selalu menikmati momen 'ketiduran' yang berdurasi hanya kurang dari satu jam. Seperti halnya tertidur di Bus antar kota. Tidur saya kadang terlampau nyenyak. Keenakan.
Seusai lepas landas orang-orang mulai sibuk berdiri dan mengantri agar lekas keluar. Semacam terburu-buru karena sedang ditunggu seseorang, semacam ingin lekas melepas rindu dengan keluarga tersayang, beberapa sisanya masih santai terdiam memandang keluar jendela, sama halnya dengan saya. Saat sudah benar-benar sepi, saya baru berdiri, mengambil tas berisi oleh-oleh yang saya taruh di kabin, sedang sisanya saya simpan dikoper yang sengaja saya taruh di bagasi.
Salam terakhir saya tutup dengan istigfar dan terburu melipat mukenah lekas keluar mushola. Saya berjalan cepat sambil tiada henti mengutuki kecerobohan diri sendiri. Masih tidak habis pikir bisa terlupa dengan barang bawaan sendiri, haha untung nggak hilang. Setidaknya ini tidak kelewat ceroboh dari menunggu hujan reda di salon selama hampir dua jam dan ternyata bawa jas hujan. Uh, gis!
Sengaja saya pesan tiket bis beberapa jam kedepan untuk menuju ke Kota Kembang. Saya ingin menikmati keramaian. Sebelum memutuskan untuk duduk di salah satu restoran fast food, saya duduk-duduk di kursi tunggu yang berderet di Bandara.
"Mbak?"
"Ya, Bu?"
Dia menyodorkan sekotak kue.
"Dicoba, Mbak"
Saya tersenyum. Mengambil sepotong kue dan melahapnya dalam dua kali suapan.
Enak.
"Enak banget, Bu", ujar saya dengan mata seolah berkaca.
Asli.
"Ayok ambil lagi, mbak"
Saya tersenyum malu sambil berpura balik bertanya, "Boleh ya, Bu?"
Giliran dia tersenyum.
Ini asli enak banget. Andai urat malu saya sudah putus saya pasti ingin tambah lantas minta dibungkus sekalian. Eh.
"Ibu nunggu siapa?" tanyaku.
"Anak ibu. Ini lagi pulang mbak kebetulan."
"Oh, gitu" ucap saya dengan senyum yang mengakhiri percakapan kami.
Percakapan kami tidak banyak, hanya kuenya yang saya makan banyak. Tidak lama beliau pamit karena katanya anaknya sudah lepas landas dan sedang berjalan menuju pintu kedatangan. Entah angin apa saya justru berasumsi sendiri, Ibu membuat kue itu untuk menyambut anaknya, agar bisa ia nikmati sepanjang jalan selagi bercerita panjang lebar.
Romantis, ya?
Mamaku juga romantis. Setiap kali hendak pulang, ia pasti bertanya ingin dibuatkan apa. Terkadang dia juga manis.
Tiga jam saya habiskan untuk melamun, makan, melamun lagi di Solaria. Kemudian 5 menit sebelum jam keberangkatan bis akhirnya saya beranjak dan tidak lama setelahnya mulai melaju membelah Ibu Kota.
Saya hendak tidur dengan pikiran mengawang-ngawang soal beraneka hal itu. Tentang teori yang sangat sederhana. Sesederhana dari senyuman saat berjumpa, mengucapkan selamat pagi, siang atau petang, sapa saat bertegur muka, atau hal sederhana lain yang tidak terpikirkan.
Dan mungkin sejak saat itu saya juga ingin belajar romantis. Saya sama sekali nggak jago soal urusan dapur, tapi saya ingin belajar walaupun masih angin-anginan. Supaya kelak ada yang merindukan pulang. Supaya kelak saat ada yang memanggil saya Ibu, ada hal yang dia rindukan. Supaya kelak ada yang merengek ingin dibuatkan ini-itu. Yang walaupun kurang garam ataupun keasinan tetap tersenyum dan bilang enak, ha!
...dari Sepotong kue mendadak saya ingin belajar romantis.
Lucu, ya?
Randomly, Menjelang Tengah Malam.
Ditemani "Dia - Anji"