JADI, BAGAIMANA KAMI BERTEMU?



Adalah Hallo, kata pertama yang saya dengar dari dia untuk saya. 

Hari itu adalah kali pertama saya bertemu dia. Kali pertama dari kali sekian dia mengajak saya bertegur sapa. Kali pertama saya iya-kan permintaannya untuk menjemput sepulang saya berkumpul dengan sahabat-sahabat dekat saya.

Hari itu adalah pertama kali kami berbincang-bincang.

Maja House, tempat pertama kami menghabiskan waktu dengan bercerita.

Sejujurnya, saya gugup.

Tumben.

***

Dalam cuti panjang saya saat itu, dia beberapa kali menyempatkan waktunya untuk sekedar untuk bertemu. Hingga akhirnya saya bawa kerumah karena dia kerap memaksa untuk bertemu mama papa, pertama karena memang kondisi saya yang berada diluar pulau dan kesempatan itu jarang ada, haha. Padahal saya berkali-kali sudah menegaskan tidak lagi akan mengenalkan kepada keduanya kecuali sudah saya yakini akan menjadi suami saya nantinya.

Dan dipertemuan terakhir sebelum saya pergi merantau lagi, dia lagi-lagi menanyakan saya soal niatannya untuk berkunjung kerumah beserta kedua orangtuanya.

Kali ini saya diam.

Berulang kali berusaha untuk mengubah topik pembicaraan.

***


Entah berapa lama waktu yang dihabiskan untuk saling meyakinkan satu sama lain tentang keputusan ini, entah berapa puluh malam yang dihabiskan untuk merenung, berdoa, meminta diyakinkan oleh Allah. Yang jelas butuh kesabaran dan ketekunan yang luar biasa hingga bisa sampai pada titik ini.

Dan akhirnya tanpa drama panjang bernama pacaran, dia dan keluarganya datang kerumah untuk mengkhitbah saya.

Alhamdulillah.

Lantas, bagaimana saya jatuh cinta?

Adalah hari itu, dimana dia datang bersama kedua orangtuanya. Hari dimana dia, walaupun dengan suara sedikit bergetar, berbicara lantang dihadapan orangtua saya untuk memohon ijin pada keduanya untuk menjadikan saya sebagai istrinya.

Sederhana? 

Ya.

Walaupun pada prosesnya cukup diluar rencana, kami yang awalnya hanya berniat untuk saling mengenalkan kedua belah pihak keluarga saja, akhirnya harus di-embel-embeli dengan tradisi tukar cincin dan bla bla bla karena permintaan dari orangtuanya.

Dan drama sesungguhnya baru dimulai. Walau tidak melewati drama ala anak muda, drama persiapan menjelang pernikahan juga lumayan menguras pikiran dan tenaga. Alhamdulillah dia mengerti kondisi saya dan tidak berkeberatan untuk pulang pergi setiap minggu ke Bandung untuk mempersiapkan ini-itu-nya. Sekarang hanya harus banyak-banyak berdoa agar setiap pihak yang kelak akan turut ambil andil dalam acara dishalehkan, dimudahkan, dilancarkan, aamiin.

Sambil berpikir bahwa sebentar lagi akan hidup dengan orang yang tidak dikenal sebelumnya, dari dunia yang berbeda, yang beberapa kali sering merasa jatuh cinta, padahal nanti saja, simpan dulu, sampai ada waktunya untuk membangun cinta sekuat-kuatnya, setinggi-tingginya.

Entah kapan dimana, saya pernah mendengar kajian yang intinya adalah bahwa kasih dan sayang sesungguhnya hadir setelah pernikahan. Kurang lebih begitu.

***

Kali ini batu besar itu perlahan-lahan pecah. 

Satu persatu kerikil berhasil ditembus.

Kerikil yang lebih besar sudah menanti. Semua akan terlewati, InshaAllah. Bongkahan terakhir adalah elemen yang akan mengantarkan kita ke pintu kehidupan baru.

Kita nikmati saja proses pacu jantung ini. 

Toh, tangan gemetar sudah biasa, kan?

Banyak-banyak sabar menghadapi wanita yang sedikit menyebalkan ini ya, apalagi kalau dia sedang lapar. Ha!




Januari di Bagian Selatan Bangka....
Hujan seharian dan sekian!