SEBUAH CERITA DARI NUSA PENIDA
Ketika pun akhirnya memilih Bali sebagai tempat tujuan honeymoon Mei lalu, pikiran saya sebenarnya masih mengawang ke beberapa tempat lain, tempat yang memang sudah saya tandai masuk ke bucket list atau yang harus saya datangi bersama pasangan saya nanti. Tapi karena satu dua tiga empat dan lain hal, akhirnya tetap Bali destinasi yang kami pilih.
Hari pertama setibanya di Bali, saya dan Aa langsung menuju hotel didaerah Seminyak yang sudah kami booking sehari sebelumnya melalui sebuah situs online. Dengan menggunakan sepeda motor, yang lagi-lagi saya pesan dari Pak Made, penyewa motor yang mungkin akan selalu jadi langganan saya jika ke Bali lagi, sore hari itu Bali cukup ramai.
Di hari pertama saya masih galau untuk menentukan lokasi selanjutnya yang ingin didatangi. Setelah puluhan kali browsing tentang Bali dan selalu tiba di site yang membahas keindahan Pulau Nusa Penida, Nusa Ceningan dan Nusa Lembongan, saya mencoba bertanya juga kepada beberapa teman yang memang merupakan orang pribumi dan teman yang saat ini berdomisili di Bali. Walaupun nampak agak ribet, akhirnya Nusa Penida jadi tujuan kami di hari kedua dan ketiga setelahnya..
Hari berikutnya setelah check out hotel dan bla bla bla, kami bergegas menuju pantai Sanur untuk mengejar kapal yang infonya berangkat pukul 9 pagi menuju Nusa Penida. Setibanya disana ternyata ada banyak berbagai counter penjual tiket kapal untuk kesana dan dengan jam keberangkatan yang bervariasi pula. Saat itu karena ingin cepat dan males ribet, saya akhirnya pesan tiket kapal Billabong dengan harga 200 pulang pergi per orang. Alasannya, dia berangkat tepat 5 menit setibanya kami dan kedua jadwal kepulangannya fleksibel.
Perjalanan laut dari Sanur membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit. Kapal saat itu cukup penuh juga oleh penumpang. Mungkin karena terlalu capek perjalanan kesana kemari, saya memang kurang menikmati perjalanan dan memilih untuk tertidur sepanjang jalan. Ketika hampir sampai saja kami terbangun dan langsung berkata 'waaaaaa~'
Karena memang ini adalah Plan Z, diluar skenario awal, semua jadi serba dadakan. Rental motor dadakan, pesan hotel dadakan juga, destinasi wisata juga dadakan baru diinfokan oleh pemilik homestay tempat kami menginap. Oya, soal homestay nanti saya akan buat postingan khusus sekaligus ucapan terima kasih atas pelayanan yang luar biasa baiknya.
Balik lagi, saya memang suka hal-hal yang bersifat spontan, tiba-tiba, mendadak. Lebih unpredictable aja sih, seru. Tapi kali ini saya salah perhitungan sepertinya. Mulai dari rental motor yang kondisinya kurang memadai sampai dengan akses jalan di Nusa Penida yang cukup 'luar biasa' setiap kali kami menuju satu destinasi wisatanya.
Untuk urusan indah, Nusa Penida memang bagus sekali. Tapi perjuangan di jalan menuju kesananya itu membuat setidaknya berpikir ulang sampai empat kali jika harus kembali kemari dengan kondisi akses jalan yang masih seperti ini. Hahaha, bukan apa, jalan kayak gini bisa bikin Aa uring-uringan karena cape dan kesel juga, ditambah lagi kondisi motor yang ampun-ampunan.
Crystal Beach, lokasi pertama yang kami datangi selepas dzuhur di hari kedatangan kami. Jarak tempuhnya kurang lebih 30-40 menit dari tempat kami menginap, dengan kondisi jalan yang katakanlah campuran, kadang bagus, kadang jelek, kadang bagus banget, kadang jelek baget, gitu. Ditambah lagi jalanan yang cukup menanjak dan berliku juga.
Dan, taraaa! Sesampainya disana mayoritas pengunjungnya Bule, beberapa orang lokal, dan sisanya para pedagang maupun penjaga pantainya. Berhubung lapar, Aa membeli sebuah nasi campur yang dia makan dengan lahap dibawah riuhnya payung sewaan seharga 50 ribu ini. Saking nyamannya kami malah sempat tertidur sekitar setengah jam disana. Suara debur ombak, angin sepoi-sepoi, dan pemandangan yang indah didepan mata ini salah satu nikmat Allah yang sama sekali nggak bisa didustakan.
Disana beberapa kali Aa mengajak untuk snorkeling, tapi saya terus berkelit, mengingat panas terik siang hari itu yang pasti bakal bikin kulit muka saya yang super sensitif ini bakal langsung terbakar, hiks.
Hamparan pasir putih hampir sepanjang 1 kilometer yang dikeliling perbukitan hijau dan gugusan pulau kecil ditengahnya membuat pantai ini semakin cantik. Dibagian kanan dan kiri pantai dibatasi oleh tanjung dari perbukitan yang membuat pantai ini seolah terlindungi dari gempuran ombak. Oya, yang istimewanya lagi dari kejauhan terlihat ada sebuah pura yang dibangun di pulau kecil itu, semacam Pura Tanah Lot. Hm, kalau boleh membandingkan rasanya pantai ini mirip sekali dengan Pantai Padang-Padang, hanya saja lebih sepi pengujung.
Untuk kategori tujuan wisata, jika dibandingkan beberapa pantai yang ada di Bali, saya rasa tempat ini masih jauh dari kata layak. Selain masih banyak sampah yang berserakan, kurangnya fasilitas umum seperti toilet dan tempat berganti pakaian juga membuat pantai ini terlihat kurang terawat.
Sebetulnya masih ada banyak hidden treasure yang bisa dijelajahi di pulau ini, namun sayangnya karena keterbatasan waktu dan tenaga yang rasanya tidak memungkinan terlebih mengingat akses jalan yang bikin kami kecapean dijalan haha.
Satu hal yang saya pelajari dari Nusa Penida adalah bagaimana ia membuat para pengunjungnya harus bersakit-sakit dahulu untuk bisa bersenang senang kemudian. Ciao!
Nusa Penida, Bali
Pertengahan Mei 2017