Bicara Soal 1001 Upaya Demi Pengendalian BBM Bersubsidi Tepat Sasaran di Wilayah DKI Jakarta

Bicara soal subisidi bahan bakar minyak (BBM) memang rasanya tidak akan ada habisnya terutama cara pengendalian BBM bersubisidi tepat sasaran. Beberapa hari yang lalu tepatnya hari selasa (8/11/2022), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bersama dengan KBR menggelar diskusi publik melalui aplikasi zoom dengan tema Pengendalian BBM Bersubsidi Tepat Sasaran di Wilayah DKI Jakarta, yang kemudian diskusinya bisa dinikmati oleh kita sebagai masyarakat umum via Youtube. Sungguh banyak sekali ilmu yang saya dapatkan setelah mendengarkan diskusi tersebut. Dalam tulisan kali ini saya ingin sedikit menceritakan kembali atau memberi gambaran singkat isi diskusi dalam blog ini.



Di awal sesi diskusi disampaikan oleh Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi mengatakan pada dasarnya YLKI sangat concern akan beberapa hal terkait ekonomi, lingkungan dan transportasi. Jika bicara soal Jakarta tentu merupakan suatu hal yang sangat kompleks sekali untuk dibahas, juga termasuk hal yang sangat krusial karena pembahasan ini secara umum terkait dengan pengendalian BBM bersubsidi. 

Seperti kita tahu bahwasannya di Jakarta saat ini walaupun transportasi publiknya dapat dikatakan sudah sangat berkembang, akan tetapi penggunaan kendaraan pribadi baik roda dua maupun roda empat itu masih sangat dominan sekali. Artinya Jakarta secara tidak langsung menyerap banyak sekali bahan bakar yang digunakan dan di alokasikan pada segi ekonominya.

Pada konteks pengendalian BBM bersubsidi secara ekonomi dan lingkungan di kota Jakarta, dinilai menjadi satu hal yang cukup mendesak, karena Jakarta merupakan salah satu kota utama penggerak ekonomi Indonesia. Jakarta sebagai barometer nasional, penggunaan kendaraan pribadi dari data statistik sebanyak 35% berkutat di Jakarta dan Jabodetabek, hal ini tentu terkait dengan pengendalian kendaraan pribadi dengan bahan bakar sebagai sumber energi merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Saat ini berdasarkan riset, penggunaan roda dua juga jumlahnya jauh lebih banyak digunakan, ini yang harus diantisipasi secara ketat oleh pemprov DKI agar Jakarta menjadi kota yang manusiawi, layak ditinggali secara ekologis lingkungan serta keadilan ekonomi dengan mewujudkan penggunaan bahan bakar yang lebih adil.

Lalu jika dilihat dari sisi lingkungan, Jakarta yang saat ini di klaim sebagai kota yang paling berpolusi, karena penggunaan kendaraan pribadi yang tinggi juga karena dipicu karena bahan bakar yang belum standar atau belum ramah lingkungan sehingga berkontribusi sangat signifikan terhadap pencemaran lingkungan. 

Disampaikan juga upaya untuk mengatasi kemacetan, polusi, selain didorong dengan memaksimalkan penggunaan angkutan umum juga bisa dengan cara menggunakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan sehingga dapat menurukan tingkat polusi. Jika dibandingkan dengan kota-kota besar lain di dunia, eropa atau amerika, yang sudah menggunakan bahan bakar yang ramah lingkungan sehingga dampak emisi gas buangnya sangat rendah. 70% polusi di Jakarta bermula dari kendaraan. Kenapa hal ini sangat urgent, karena diharapkan akan dapat memperbaiki kualitas demi lingkungan hidup di Jakarta yang lebih baik.

Selanjutnya Pak Tulus Abadi juga mengatakan, jika merujuk pada UU 30 tahun 2017 tentang Energi, ia menegaskan bahwa subsidi energi itu adalah hak masyarakat yang tidak mampu. Nah, dalam hal ini ada aspek ketidakadilan ekonomi karena pengguna kendaraan roda empat disinyalir dapat dikategorikan sebagai orang mampu menggunakan BBM subsidi sebanyak 20%.

Diskusi dilanjutkan oleh Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas ESDM, Bapak Maompang Harahap, ST,. M.M, dengan pembahasan terkait Penggunaan BBM bersubsidi yang diatur dalam Perpres Nomor 191 Tahun 2014 yang melandasi penyaluran BBM bersubsidi yaitu pertalite dan pertamax yang  dilakukan penyedia bbm yakni pertamina.

Lebih jauh dijelaskan bahwa ada pembagian kewenangan BPH Migas yang berkewajiban untuk menjamin pasokan dan distribusi BBM jenis JBT dan YBKP di seluruh Indonesia melalui penugasan Badan Usaha Milik Negara. JBT jenisnya itu minyak solar mendapatkan subsidi tetap dan kompensasi, sedangkan YBKP itu jenis pertalite mendapatkan kompensasi, tidak ada subsidi. Akan tetapi keduanya tetap berasal dari APBN. Dalam kedua jenis BBM tersebut ada subsidi dan kompensasi sehingga diperlukan pengaturan yang arahnya pengendalian volume BBM agar tepat sasaran dan tepat guna.


 


Sebetulnya point utama yang diharapkan dengan adanya pengaturan ini adalah kesadaran masyarakat untuk bisa menjadi konsumen pengguna bbm yang berkualitas dan ramah lingkungan serta kesadaran untuk tidak menggunakan bbm subsidi jika tidak berhak.

Dari laporan yang disampaikan oleh Direktur Pengendalian Pencemaran Udra (KLHK), Luckmi Purwandari, data kualitas udara di DKI Jakarta (5 stasiun) stasiun pemantauan kualitas udara, sejak adanya kenaikan bbm subsidi dari bulan September terpantau kecenderungan kualitas udara baik. Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) nilainya menurun yang artinya kualitas udaranya membaik walaupun belum ada nilai angka resmi yang dirilis.

Dalam konteks pengendalian bbm bersubisidi, tentu kita harus menekankan aspek keadilan ekonomi dan ekologis. Dari UU tentang energi disebutkan dengan jelas bahwa bbm bersubsidi adalah untuk masyarakat tidak mampu. Apakah selanjutnya dapat dikatakan pengguna kendaraan roda empat merupakan masyarakat tidak mampu? Tentu saja tidak, hal ini dapat dikatakan tidak adil jika berbicara terkait dengan subisdi tepat sasaran. Lain halnya dengan pengguna roda dua, sekitar 15-20% yang rentan ekonomi dimana 70% diantaranya kendaraan dibeli dengan proses kredit.

Tidak hanya kebijakan harga bbm subisidi yang naik, mungkin kedepannya ada kebijakan lain seperti kendaraan yang bisa memenuhi baku mutu emisinya yang pajaknya akan lebih ringan dibandingkan dengan hasil uji emisinya melebihi baku mutu yang dipersyaratkan. Saat ini sedang dilakukan perhitungan, tambah Ibu Luckmi saat menanggapi pertanyaan dari salah seorang peserta diskusi.

Pada kesempatan yang sama pula, Kepala Dishub DKI Jakarta Syafrin Liputo turut menyampaikan informasi terkait dengan kebijakan transportasi Jakarta saat ini yang inline dengan rencana pengendalian konsumsi BBM, karena begitu transportasi publik memenuhi standar minimum yang ditetapkan sesuai aturan, diharapkan ekspektasi masyarakat terkait transportasi umum dapat dipenuhi sehingga beralih dari kendaraan pribadi menjadi ke transportasi public atau umum.

Beliau juga menambahkan bahwa pada tahun 2016-2017, sebelum transportasi umum Jakarta diintegrasikan ada 350ribu penumpang per hari. Kemudian upaya Jakarta dengan begitu massivenya melakukan penyediaan bus TransJakarta, ditinjau dari sarana prasarana, layanan, rute, termasuk schedule dan tarif serta cara pembayaran serta dilakukan integrasi data dan informasi untuk menjadi satu kesatuan yang utuh. Adapun tercatat sebelum pandemic covid-19, penumpang TransJakarta naik 3x lipat menjadi sekitar 1juta pada januari 2020. Dengan integrasi tersebut terjadi shifting, tentu terkait dengan konsumsi bbm yang dapat dihemat akibat meningkatnya pengguna kendaraan umum.

Pola mengikuti yang sedang disiapkan saat ini dibuat berdasarkan account base ticketing, dalam melakukan pembayaran penumpang akan mendapatkan kartu uang elektronik atau tiket berdasarkan account base, tidak lagi berdasarkan chip yang mana jika kartu hilang maka saldonya ikut hilang, sedangkan berdasarkan account base ticketing tidak demikian. Karena account tercatat di akun. Dengan hal ini yang menerima tarif bus yang bersubsidi adalah mereka yang tercatat sebagai kategori masyarakat berpenghasilan rendah. Diharapkan hal ini dapat diimplementasikan dan berjalan dengan baik.

Pada akhirnya berbagai upaya terus dilakukan secara Bersama-sama dengan melibatkan berbagai Pihak terkait untuk dapat menemukan cara atau formula agar Pengendalian BBM Bersubsidi Tepat Sasaran di Wilayah DKI Jakarta ini dapat terwujud dengan adil dan sebaik-baiknya. Pada konteks Jakarta, pengendalian bbm bersubsidi harus ada insentif dengan mendorong sebanyak mungkin transportasi umum yang dapat digunakan oleh masyarkat umum sehingga terjadi migrasi penggunaan kendaraan pribadi ke tranportasi umum yang semakin banyak dan semakin tinggi kapasitasnya yang pada akhirnya berkontribusi untuk menurunkan emisi secara umumnya. Hal ini tentu terkait dengan sarana prasarana transportasi umum yang harus memenuhi kebutuhan masyarakat secara umum, sehingga bisa beralih dari kendaraan pribadi. Kedua, harus ada disinsentif, masyarakat harus menggunakan bahan bakar yang lebih berkualitas dan ramah lingkungan agar mengurangi polusi udara Jakarta.

Tentu ini menjadi tugas Pemerintah untuk terus berinovasi menyediakan layanan angkutan umum dengan standar layanan yang cukup tinggi, memperbaiki system yang ada, pertimbangan biaya yang lebih hemat dibandingkan dengan menggunakan kendaraan pribadi, agar transportasi umum akhirnya dapat jadi pilihan masyarakat dalam mobilitas kesehariannya. Dan tentu dengan upaya ini akan membantu pemerintah dalam menghemat subsidi BBM dan tentu membantu dalam Pengendalian BBM bersubsidi Tepat Sasaran di Wilayah DKI Jakarta.. Semoga..



Akhir kata, seluruh analisis dan perpektif semua narasumber pada diskusi publik ini memang sangat luar biasa menambah ilmu dan pengetahuan baru bagi saya pribadi. Selain itu, semoga diskusi semacam ini juga dapat meningkatkan kesadaran, product knowledge serta peningkatan listerasi masyarakat umum terkait BBM ini meningkat, terutama dampak terhadap kesehatan dan lingkungan dari penggunaan bahan bakar minyak. Kedepannya semoga akan lebih banyak lagi kegiatan-kegiatan menarik dan bermanfaat semacam diskusi publik seperti ini ya dengan materi yang lebih bervariatif lainnya.. 😊