Pura Luhur Uluwatu; Perjalanan ke Bagian Selatan Bali

Sesampainya di Pura Luhur Uluwatu ini aku tak henti senyum-senyum sendiri. Yeaaay, finally! Setelah perjuangan harap-harap-cemas karena jalanan yang rasanya nggak sampai-sampai juga setelah hampir satu jam. Pertama kali masuk kemari dikenakan biaya 2 ribu rupiah untuk parkir kendaraan. Sempat berputar-putar juga untuk cari parkiran, akhirnya memutuskan untuk parkir dekat pintu masuk supaya nggak kejauhan juga jalannya.

Untuk wisatawan domestik, pengunjung dikenakan biaya 15 ribu rupiah saja. Disana juga ada daftar tamu yang harus diisi tentang nama dan daerah asal. Oya, sebelum masuk juga diberi selendang, warnanya macam-macam ada ungu, kuning, dan beberapa warna lain yang harus dikenakan selama berada dalam Pura Luhur Uluwatu ini. Sempat berbincang sebentar, beliau bilang kalau kain sarung dan selendang berwarna kuning bernama selempot ini menyimbolkan penghormatan terhadap kesucian pura. Lebih dari itu, ia mengandung makna sebagai pengikat niat-niat buruk dalam jiwa. 


Pura ini katanya termasuk salah satu pura tertua di Bali. Terletak di bagian paling selatan pulau Bali, yang jalanannya berkelok-kelok dan sepi sekali saat aku menuju kemari. Lokasi pura ini sendiri terletak diatas batu tebing. Oya, dari informasi yang aku baca disana, katanya Uluwatu punya makna.. Ulu artinya kepala dan watu berarti batu. Sesuai dengan tempat ini dimana posisinya seperti batu-batu saling bertindih yang berbentuk kepala bertengger diatasnya. 

Lokasi tepatnya berada di wilayah Desa Pecatu, Kecamatan Kuta, dengan jarak tempuh kurang lebih 1 jam perjalanan dari arah Pantai Pandawa. Pura ini berdiri megah diketinggian dengan posisi agak menjorok ke laut, mungkin inilah kelebihannya, pemandangan indah yang tidak bisa kita temukan dikawasan lainnya.

Di depan Pura ini juga ada semacam hutan kecil yang disebut alas kekeran, dimana didalamnya ditinggali banyak kera abu-abu. Beberapa kali juga penjaga pura memperingati kami untuk berhati-hati akan barang bawaan, soalnya kera disini kerap mencuri barang-barang para pengunjung dia bilang. Sayangnya saat aku kemari sedang tidak ada pertunjukkan tari kecak yang katanya keren banget, nuansanya berbeda salah seorang teman bercerita.





Berhubung aku agak takut risih sama kera-kera kecil yang berseliweran disini jadi selama berjalan-jalan selalu 'ngekor' rombongan pengunjung lain. Asli loh awalnya santai aja, tapi pas lihat salah satu kera tiba-tiba meluk kaki salah satu bule langsung waswas, panik. Eh, si bule itu malah ketawa-ketiwi cengengesan, dia pikir itu lucu :(

Oya, petugas pura juga memperingatkan kami sih kalau tiba-tiba disamperin kera jangan panik, apalagi sampai menyakiti kera tersebut. Ia bilang kalau hewan penghuni pura ini diyakini sebagai penjaga kesucian pura. Jadi, kalau tiba-tiba kera mengambil barang kita baiknya dibiarkan dulu lalu lapor ke petugas pura terdekat untuk membantu mendapatkan barang itu kembali.




Selain soal selendang dan kera, satu hal yang menarik lagi adalah soal larangan masuk bagi wanita yang sedang 'berhalangan'. Sebetulnya kalau soal ini aku udah tau sih, beberapa kali mengunjungi pura di Bangka dan salah satu pura tertua di Banten, hal ini juga jadi salah satu aturan mutlak yang nggak boleh dilanggar oleh pengunjung.

Seperti halnya aku sebagai seorang Muslim menganggap bahwa mesjid adalah tempat ibadah yang harus bersih dan 'sakral', bagaimana pun sama halnya dengan pura ini. Walaupun nggak mencoba mencari tahu lebih dalam soal apa konsekuensi yang mungkin akan terjadi bila kita melanggar aturan, secara pribadi aku yakin bahwa yang namanya aturan ini dibuat bukan hanya soal adat tapi memang karena ada sesuatu yang mendasarinya.




Selama disana, aku ngekor sama bule-bule yang asalnya dari Thailand. Awal lihat pasti ngira orang Indonesia sih soalnya kulitnya mirip-mirip gitu, jadi awalnya sok sok senyum-senyum. Dengan bahasa Inggris terbata yang seadanya sempat ngobrol sebentar gitu. Walaupun agak kurang paham dan lebih banyak bilang 'eh' atau 'sorry?' atau 'hehehe' lumayan sih jadi nggak kesepian amat pas disana. 

Mereka juga dengan baik hati menawarkan aku untuk difotoin haha tapi aku tolak halus karena rasanya aneh aja gitu. Jadi dari arah pura jalan menyusuri hutan terus jalan lagi sampai ditempat yang bisa dibilang cukup tandus ini. Eh, diujung jalan ini ada juga penjual minuman dan beberapa cinderamata ternyata. 

Berhubung mereka masih anteng foto-foto ditempat tadi, aku akhirnya pamit duluan buat berkeliling lagi. Saling mengucapkan selamat tinggal, hati-hati dan sampai jumpa lagi. Cie. 





Setelah percaya bahwa 'Writing is self-healing theraphy'. Aku juga percaya cerita-cerita yang sering aku baca soal 'Solo-Traveling' sebagai salah satu diantaranya. Berjalan sendirian mengajarkan aku banyak hal. Mengajarkan aku bahwa di dunia ini nggak ada yang namanya kebetulan. Bahwa semuanya sudah tertuliskan dengan begitu sempurna oleh Tuhan. Jadi jngan khawatir, suatu hari nanti akan ada waktunya kamu tidak lagi berjalan sendirian. Tidak lagi terjatuh tanpa ada yang memapahmu untuk bangun dan berjalan perlahan. Karena aku percaya.. if it's meant to be, it will be. Let Allah surprise you, gis. Be happy! Cheers*



Fall in love with Allah first. And Allah will give you the right person that you deserve in the right time. The right person-the ones who really belong in your life-will come to you. And stay, forever. 
Inshaa Allah :)


Pecatu, Bali, 2015