[BOOK REVIEW] SABTU BERSAMA BAPAK
Author : Adithya Mulya
Penerbit : Gagas Media
Finally! Itu satu kata yang akhirnya saya ucapkan saat menutup lembar terakhir novel ini. Sekitar tahun 2014 lalu, saat tengah berada di Palembang saya sempat membeli buku ini dan baru setengah jalan entah bagaimana caranya ia tertinggal di Udiklat. Sedih. Sempat terlupakan juga sih memang, tapi saat mulai ramai gembar-gembor soal buku ini yang difilmkan rasa penasaran saya muncul lagi dan berakhir manis antri di kasir Gramedia. Sekalian spoiler aja niatnya.
Dalam buku ini dikisahkan tentang bagaimana persiapan seorang Bapak, Pak Gunawan, mempersiapkan 'pendidikan' anak-anaknya kelak yang saat itu masih sangat kecil hingga dewasa ditengah pertempurannya dengan penyakit kanker. Melalui rekaman-rekaman video yang direkamnya, ia ingin tetap menjadi seorang Ayah yang baik dengan mendidik anaknya walaupun dengan cara yang sedikit berbeda. Selanjutnya, Sang Istri, Ibu Itje, yang juga mengidap kanker, sepeninggalnya suami harus berjuang membesarkan anak-anaknya seorang diri. Dan pelajaran pun dimulai. Setiap Sabtu kedua anaknya, Satya dan Cakra, menonton video yang sudah direkam Bapak sesuai dengan jadwal dan waktunya.
Serius? Ah, nggak juga. Tapi syarat makna sekali ceritanya. Banyak pesan yang secara tidak langsung diselipkan, bahkan didalam lelucon-leluconnya. Dari mulai senyum-senyum, berkaca-kaca sampai tertawa setidaknya saya rasakan saat membaca novel ini. Seperti biasa, catatan-catatan kaki pada beberapa lembar cerita saja sudah bisa bikin pembaca senyum sendiri, terlebih lagi lelucon obrolan-obrolan teman sekantornya Cakra. Uh, gemas.
Ketika orang dewasa mendapatkan atasan yg buruk, mereka akan selalu punya pilihan untuk cari kerja yang lain.
Atau paling buruk, resign dan mengganggur. Intinya, selalu ada pilihan untuk tidak berurusan dengan orang buruk.
Anak? Mereka tidak pernah minta dilahirkan oleh orangtua buruk. Dan ketika mereka mendapatkan orangtua yang pemarah, mereka tidak dapat menggantinya.
- hal. 60
Terkadang saya merasa sedang membaca buku Parenting dengan kemasan berbeda saat menyelesaikan novel ini sih. Penyampaian pesan antara apa yang dipikirkan oleh orangtua dan anak diramu dengan kata yang simpel tapi tetap mengena. Itu pointnya.
Menjadi dewasa tidak serumit itu kok.
.....Kurang lebih begitu.
***
Dibagian lain pembaca dibawa berpetualang menjelajahi kisah cintanya Cakra yang mati-matian mengejar Ayu, teman kantornya, dengan persaingan dengan Sang-Million-Dollar-Man, namun diakhir cerita dibuat kaget karena ternyata tanpa sepengetahuan mereka kedua orangtua sudah berniat menjodohkannya.
Jadi teringat ketika teman saya, Yudith, menganggap buku ini semacam buku pengantar Pra-Nikah yang recommended harus dibaca oleh para calon pengantin pria seperti dia. Untuk hal satu ini, saya setuju dengan pendapatnya.
Ada satu percakapan panjang yang-mungkin-bisa jadi renungan, in case, buat saya khususnya.
"Kalau saya gak akan mencari perempuan yang melengkapi saya" ujar Cakra.
"Loh kenapa? Bukankah memang seperti itu yang benar? Melengkapi?
Cakra menggeleng.
"Kata Bapak saya.. dan dia dapat ini dari orang lain. Membangun sebuah hubungan itu butuh dua orang yang solid. Yang sama-sama kuat. Bukan yang saling ngisi kelemahan, Yu"
"............."
"Karena untuk menjadi kuat, adalah tanggung jawab masing-masing orang. Bukan tanggung jawab orang lain."
"............."
"Tiga dirkuran tiga berapa, Yu?"
"Nol"
"Nah. Misal saya gak kuat agamanya. Lantas saya cari pacar yang kuat agamanya. Pernikahan kami akan habis waktunya dengan si kuat melengkapi yang lemah."
"............."
"Padahal setiap orang sebenarnya wajib menguatkan agama. Terlepas dari siapa pun jodohnya."
"............"
"Tiga dikali tiga berapa, Yu?"
Ayu mengangguk, mengerti.
-hal. 216
Find someone complimentary, not supplementary.
Setidaknya saya rasa, di usia kita sekarang ini, cinta bukan lagi menjadi salah satu alasan utama untuk bisa terus bersama. Ada beberapa hal yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Seperti halnya tentang cita-cita, tentang keluarga, tentang seberapa kerasnya mau berusaha dan terlebih tentang sudut pandang kita melihat dunia. Sekali lagi, pasti akan beda caranya, mungkin banyak perubahan setiap orang dalam mendeklarasikan rasa. Begitu, kan? Cie, baper.
***
Dan saya rasa dari semua buku Adhitya Mulya yang sudah saya baca, buku ini yang paling berbobot sih. Sesuai dengan prakata diawal bukunya, buku ini adalah sebuah cerita. Tentang seorang pria yang belajar mencari cinta. Tentang seorang pria yang belajar menjadi suami. Dan tentang seorang Ibu yang membesarkan mereka. Dan tetang seorang bapak yang meninggalkan pesan untuk mereka.
”Cerita ini ditulis selama 2 tahun, tapi dibuat selama 36 tahun”
Sekarang tinggal menanti cerita ini di layar lebar seusai Idul Fitri nanti, yeayyy!
Nobody said it would be easy.
It happens.
Face it, gis!