ALAM PUNYA CARANYA SENDIRI

Adalah seorang Bapak, yang berprofesi sebagai sebagai seorang pemulung, ditengah hujan deras saat saya berada di daerah Koba berjalan terhuyung sembari menggendong anak kecil yang mungkin usianya baru 3 tahun. Anak itu tertawa, sesekali menatap wajah Ayahnya terlihat nampak bahagia seolah diajak bermain air.

Adalah seorang Bapak yang berprofesi sebagai pekerja bangunan salah satu rumah sakit terbesar di kota yang bercerita perihal rutinitas bulanannya mengirim uang untuk anak istrinya di ujung pulau Jawa sana, ditengah siang hari, dengan wajah berpeluh nan sumringah.

Adalah seorang Ibu, yang juga berperan ganda sebagai seorang Bapak untuk keempat anaknya, yang pagi siang hingga malamnya dia gunakan untuk berjualan aneka makanan di pasar tempat saya membeli sayuran. Untuk biaya sekolah dan aneka kebutuhan lain, katanya.

Adalah seorang Bapak, yang konon Saudagar kaya, berkisah soal suksesnya walau hanya tamatan sekolah dasar, mengobrol panjang di sebuah lahan pertanian miliknya di Kimak. Mempunyai aset dimana-mana. Dapat menyekolahkan anak-anaknya hingga ke luar negeri sana. Wajahnya bangga dan terlihat bahagia, tapi sama sekali tidak terlihat ada segurat sombong disana.

Adalah seorang anak yang tanpa sengaja terjebak hujan ditepi ATM bersama saya, yang ketimbang harus meminta-minta, ia lebih suka menjual tissue dan minuman botol dijalanan untuk tambahan biaya membeli buku sekolah dan sepeda impiannya.

Adalah seorang Ibu paruh baya, yang bercerita soal caranya bertahan hidup selepas ditinggal suaminya meninggal dunia, saat ia ingin komplain perihal pembayaran rekening di loket pelayanan kantor saya.

***

Semuanya seperti film yang kembali berputar di ingatan.

Ada sesuatu yang berdesir halus muncul di hati ketika mengingat peristiwa itu kembali. 

Hal yang membuat hati saya bergetar, mata saya berkaca-kaca, tapi ada sesuatu yang membuat saya tidak meneteskan air mata, sesuatu yang saya sendiri tidak tau kenapa. 

Malu, sepertinya.


Dulu, saya percaya, apapun pekerjaan impian kamu pasti membutuhkan pendidikan yang mumpuni. Sebab, bukan hanya pekerjaan yang akhirnya kamu kelola dalam hidupmu. Tapi sekarang saya yakin pada akhirnya pendidikanmu (tidak selalu) menjadi tolak ukur bagi kamu untuk mendapatkan rezeki.

Kita hidup di masa yang penuh kecurigaan dan saya pikir itu perangkap besar yang bisa membuat kita tidak mampu, atau tidak mau, berbuat apa-apa untuk orang lain. Kita cuma mau melakukan hal-hal tertentu demi kepentingan diri sendiri. Tampaknya kita memang belum bisa dan belum terbiasa berlaku adil. Kita selalu menuntut hal terbaik dari orang lain, tetapi tidak mampu melakukan hal sebaliknya. Begitu, kan?

Manusia tidak lantas mati jika tidak punya pekerjaan. Alam punya caranya sendiri. Semua sudah ada porsinya. 

Rezeki sudah ada kadarnya sendiri.

Kata Sujiwo Tejo, menghina Tuhan tidak perlu dengan mengumpat dan membakar kitabNya. Khawatir besok kamu tak bisa makan saja sudah cukup menghina Tuhan.


Dan roda terus berputar. 





Pesan untuk diri sendiri yang disimpan selalu dalam benak :

Jangan tamak.
Be smart, be human.